Jumat, November 14, 2014

PLUVIOPHILE DAN LAGU HUJAN

Adegan di film jadul Singin' in The Rain yang epic sangat


“Pluviophile”

Kedengarannya keren kan?, well umm… bagi sebagian orang mungkin lebih terdengar seperti nama penyakit mental yang butuh diikat sambil terapi kembang tujuh rupa. Tapi itulah namanya. Bacanya : “pluviofil” jangan ampe salah nyebut pedofil ya, awas!. Kalo menurut kamus online, artinya tuh “A lover of rain ; someone who finds joy and peace of mind during rainy days .” Kok artinya bahasa Inggris juga?, ya iyalah gaeees, masa kuliah di luar negeri pakenya kamus John Echols Enggris-Endonesah…*sok sokan dikit lah yaw. Haha, okay okay…bahasa Indonesianya kurang lebih “Pecinta Hujan, Seseorang yang menemukan rasa damai dan ketenangan batin ketika hujan”. Untuk simple nya sebut saja sindrom Kodokisme ato Kecebongisme, sama sama girang pas hujan turun.

Hujan itu emang menyenangkan (pake banget) meskipun akhir-akhir ini saya lebih sering menikmati hujan tidak pada tempat dan waktu yang pas buat menikmatinya, karena hujan di Islamabad lebih sering turun tengah malam. Jadi ga mungkin lah saya lari ke taman depan asrama sambil joget joget tengah malam hujan hujan, macam Ranchoddas Chanchad di film 3 Idiots pas lagu Zoobi Doobi, terlalu absurd, jelas nggak ada Kareena Kapoornya. Lagipula hujan pergantian musim ini agak tidak menyegarkan, lebih tepatnya sedikit beku dan membekukan alias dingin alias adem nyet nyet. Dulu waktu di masih di Indonesia sering dengar November Rain nya Gun’s Roses sekedar dengar sambil karaokean di kamar mandi yang kerannya dinyalain keras keras biar suara serak serak tsunami nya gak terlalu kedengaran sehingga menimbulkan keresahan masyarakat, tapi sekarang bener bener kerasa liriknya. Bahwa hujan di bulan November itu adem pol polan, sumpah Jon!. Jadi kembali ke hujan tadi, tengah malam bukan waktu yang pas buat menikmati hujan. Kecuali jika anda punya semangkok soto ayam dan segelas besar teh panas, dan itu terlalu diluar jangkauan imajinasi bagi mahasiswa rantau yang hidupnya di asrama tanpa ada Indomaret or Alfamart  seperti saya ini.

Bagi beberapa manusia yang melankolis hujan itu ga sekedar air yang jatuh ke bumi. Yang mampu mengendapkan semua ke-melankolis-anya sampai berapa lapis diatas normal.  Hahaha..untungnya saya bukan manusia melankolis.
Tapi intinya begini, whatever it is, Hujan is more than just a natural phenomena, lebih dari sekedar gejala alam. Jadi bagi saya, hujan itu seakan akan seperti gerbang ke dimensi lain. Kamu tahu Doraemon? Robot kucing warna biru yang takut tikus itu? Doraemon punya pintu kemana saja berwarna pink (sampe sekarang saya masih belum sreg dengan warna pintu itu), sedangkan saya Cuma butuh hujan. Kenapa hujan? Karena ketika suara hujan itu bersahut sahutan memenuhi pendengaran, saat itulah saya seperti terbawa ke tempat yang sama sekali berbeda. Mungkin tidak secara fisik, tapi sensasinya tak jauh beda. Dan percaya nggak percaya percaya aja, suara deru hujan seperti itu, menurut banyak para pengamat ahli, mempunyai daya magis yang secara misterius menenangkan. Damai.
Dengerin suaranya aja bias tenang, apalagi sambbil menikmati langsung tiap tetesnya kan? Terapi gratis ga usah ikut kelas yoga, kecuali kalo emang kelas yoga nya dicampur ama cewek, hahaha, ngawur.
Pernah lihat orang senang hujan hujanan?, Nah itulah gejala fisik Pluviophile akut.  Akui saja lah, selalu ada sisi bocah dalam diri kita yang bilang bahwa main hujan itu menyenangkan. Apalagi sampe banjir sedengkul dan kuliah diliburkan. Indah banget bro. (Asrama saya di lantai 3 jadi kasur yang baru beli 3 minggu lalu aman insya Allah hihihihi).
Sebenernya sih, bagi yang takut air, banyak hal yang bisa dilakukan di tengah hujan selain hujan hujanan tadi,
Bisa ngopi ngopi di teras rumah
Baca buku
Dengerin music
Bengong termenung ngayal sambil nyoba ngitungin rintik hujan yang menetes di dedaunan…(aiihh)
Atau yang paling liar : Semuanya sekaligus “PLUS” Nyeduh Indomie rasa Soto Ayam pake ayam beneran sampe bener bener mirip sama gambar di bungkusnya. Nikmat kan bro? itu liurnya dilap dulu sanah!.

Tadi di atas saya sebutin kalau hujan itu jadi sesi terapi , ya emang sesi terapi sih, kalau stress lagi memuncak memandangi hujan sambil diiringi soundtrack pilihannya bisa cukup mengembalikan semangat yang udah hampir low batt. Menikmati hujan dikala gelombang otak sedang beta pun amat sangat melegakan, di tengah hujan bisa merenung banyak, ngayal pun jadi makin kerasa realita semacam nonton tridi (3D bro) lah, ga perlu jauh jauh ke bioskop buat yang tridi tridian gitu, cukup : Hujan, Teh Fanas, dan Musik yang Fas . Because in every drop of the rain, there is something to let go of. Stress? Patah Hati? Sedih? Mules? Geli pingin ngupil?  bisa luntur seiring jatuhnya hujan membasahi bumi. Lagian ada sebuah penelitian saya lupa baca di jurnal mana, tapi sampai sekarang tu penelitian belum selesai. Isinya begini, Hujan punya kemampuan untuk membius atau menghipnotis manusia, tapi belum jelas apa yang bisa menyebabkan hal tersebut. kesimpulannya pun menye menye banget : "In the rain, there are songs that can only be heard by those who miss their icikiwir" Saya curiga ini yang bikin penelitian bukan ilmuwan beneran tapi abege galau ato cabe cabean.Hahaha, sudahlah.
Menikmati hujan itu kurang lebih sama kaya menikmati Indomie tadi. Rasanya selalu tetap, what you expect is what you get. Sudah jelas kalo masak mi rasa ayam bawang ya dapetnya rasa itu, ga tiba tiba  berubah jadi mi rasa rendang kerbau selera pedas sambal ijo. Lagipula begini, hujan itu lebih membawa berkah kalau dibandingin sama panas terik, kalau hujan ga dateng berapa juta hektar sawah yang ga teraliri, berapa juta m3 waduk yang ga terpenuhi kapasitasnya, berapa juta orang yang ga terpenuhi kebutuhan air bersihnya?. Karena hujan merupakan bagian dari siklus hidrologi jadi hujan memegang peranan penting tehadap ketersediaan cadangan air tanah dan jumlah air permukaan yang beredar di bumi ini.

Tau ga kalau dalam 1 detik  kira2 16 juta ton air menguap dari bumi.... nah see...bisa dibayangin kalau hujan ga turun? Perbandingan jumlah air permukaan dan air tanah akan tidak berimbang, berimbas pada bencana kekeringan dan efek domino, bukan domino Pizza,  pada kehidupan sosial lainnya, Tapi di sisi lain banyak yang ngomel kalau hujan datang dengan debit yang sangat berlimpah, karena ditakutkan adanya banjir karena luapan sungai atau genangan yang terjadi karena sistem drainase yang tidak mampu menampung debirt laju air limpasan dari permukaan. Tapi boleh diyakini atau dibantah sekalian... adanya bencana banjir atau genangan yang tidak bisa dikendalikan tersebut bukan kejadian murni alam 100%, selalu ada ulah campur tangan manusia dalam merekayasa alam.. rekayasa itu ada yang negatif sekaligus positif lho, ya contoh gampang membangun bangunan di sepanjang sempadan sungai atau kali, bangunan-nya ya tergantung juga, bangunan tempat tinggal atau bangunan untuk mengendalikan daya rusak air. Kalo urusan ini, emak saya yang ahli tehnik linkungan lebih bisa menjelaskan.
Ehhh, ngapain saya jadi malah nulis hal teknis begini?  Padahal awalnya udah mau nulis tulisan sok romantis melankolis berbau cengeng asolole tentang hujan.. hahahaha.. ya sudah.. back to menye-menye thing... Fase hujan itu sama kaya fase di alam lainnya, harus ada lagunya, ini opini pribadi lho yes, boleh setuju boleh ga.

Kebanyakan nih, kalo pada ditanya lagu apa yang paling pas buat hujan, pasti jawabannya beda beda tergantung tingkat ke “gahool” an musiknya. Tul ga? Anak Rock pasti banyak yang sambil angkat jari ala Spiderman bilang “November Rain”, beda lagi dengan anak Kpop atau Jpop, ada beberapa otaku yang bilang “Ame” nya Hata Motohiro yang jadi OST Kotonoha no Niwa, ada juga yang lain. Pecinta lagu Pop Indonesia jaman saya SD mungkin akan berlinang airmata nostalgila denger “Gerimis” nya Kla Project, sedangkan jaman bapak saya nggombalin emak dulu mungkin dengan lagu “Sepanjang Jalan Kenangan”, atau apalah, ntar saya tanyakan hehehe.

Lagu hujan saya?

Well, saya bukan fans fanatik pada aliran tertentu sih yes, jadi dalam playlist hujan saya ada macam macam lagu. Dari jaman om John Lennon masih eksis ama Beattles, ampe teteh Yui Yoshioka semua ada. Tapi dari playlist itu pasti adalah ya yang jadi top played. Ada, ntar tak tulisin deh daftar playlistnya.
Anyhow, meskipun namanya playlist hujan, tapi isinya juga bukan tentang hujan semua kok yes. Playlist hujan dsini maksud saya ya yang paling enak didenger pas hujan dan kebetulan ada di henpon, dari sudut telinga saya lho yes. Bukan mentang mentang ujan terus isi lagunya ujan kabeh.. relax.. saya bukan pangeran kodok yang lompat lompat kegirangan kalau ujan dan  saling saut sautan pas hujan seakan koor penonton meminta artis dangdut koplo buat : Buka Sitik JOSS!!!!
Okay, ini dia playlist hujan saya,

1. Take Me To Your Heart – (Michael LTR)
2. Across the Universe – (The Beattles)
3. Lough Erin Shore – (The Corrs)
4. Masih – (Ada Band)
5. Damai Kami Sepanjang Hari – (Iwan Fals)
6. To Mother – (Yui Yoshioka)
7. Alun Alun Nganjuk – (Versi KDI)
8. Yesterday Once More – (The Carpenters)
9. The Last Unicorn – (America)
10. Lullaby for Love – (Groove Coverage)
11. Wind – (Akeboshi)
12. Nothing Else Matters – (Metallica)
13. Don’t Cry – (Gun’s Roses)
14. Gulumcan – (Ahu Saglam)
15. Yamaoku Shounen no Koi Monogatari – (yang di film Cyborg She, ini di playlist pake kanji ga bisa mbacanya hehe)
16. Neverending Love Jogja, English Version – (Kla Project)
17. OST. Lord of The Ring, Medley – (Lindsey Stirling)

Pernah baca dimana gitu lupa, bahwa kepribadian seseorang bisa dilihat dari isi playlistnya.
Oke, ga bener bener akurat sih tapi tetep ada kemungkinan besar dari itu. Me, is my playlist. Begitu mereka bilang.
 Jadi, boleh kok periksa playlist saya asal you bisa buka passwordnya haha. Lagian itu playlist yang saya share cuma playlist hujan, karena saya lagi nulis tentang hujan. Masih ada playlist Jogging, playlist mandi, playlist nunggu dosen, playlist laper dan sebagainya. Oke, yang playlist laper tadi cuma bercanda. Dan dari 17 rain songs diatas ga sampai 10% dari total lagu yang ada di henpon saya. Karena itu, belum cukup untuk menilai kepribadian saya dari playlist hujan tadi hahaha.
Baidewei, itu playlist, teh, Indomie dansebagainya danseterusnya  kan semua cuma ubarampe, ato sesajen untuk menikmati hujan, ada satu momen yang ga bisa disetting oleh manusia, tapi selalu menjadikan hujan itu dirindukan oleh para pengidap Pluviophile tadi. Apa itu?

“Petrichor”

Diambil dari bahasa Yunani : Petra = Batu, dan Ichor = darah para dewa
Yang artinya : Bau tanah setelah hujan  (sumber : Mbah Google lah yaw, siapa lagi..??)
Bau tanah setelah hujan itu ga ada yang ngalahin, dan ga ada yang bisa menjelaskan secara pasti mekanisme apa yang bisa menyebabkan bau tanah setelah hujan itu bisa lebih enak daripada bau parfum-nya Sahrini?. Sayangnya ga ada parfum aroma hujan sama kaya orang ga bisa bikin parfum aroma tubuh yang mengandung pheromone. Eh, hahaha.

 Katanya sih itu aktifitas bakteri yang terbawa udara setelah rumput dan tanah terbasahi oleh hujan, ada juga yang bilang bahwa itu karena ada zat pada semak semak dan rerumputan yang karena hujan bersenyawa dan menebarkan aromanya kemana mana. Whatever lah, pokoknya setelah hujan, atau yang saya sebut “Earth Resurrection” selalu membuat everything looks more beautipulll than it was.
Well, despite all above, mungkin akan semakin sering deh saya hanya bisa menikmati hujan dibalik daun pintu kamar 199 lantai 3. Mahasiswa tahun terakhir, lembur dengan berbagai alasannya, dan setatus yang masih sperti anak dibawah 24 tahun kebanyakan. Ga usah disebut lah itu, saya kan bukan melankolis…xixixixi.
Sampai kapan? Yah, kita lihat saja nanti.


”If I were the rain that bind together the earth and sky, 
who in all eternity will never mingle, 
would I be able to bind the hearts of people together?”

Inoue Orihime - Bleach

Minggu, November 02, 2014

MEMBELI KEBAHAGIAAN



Suatu hari, Paulo Coelho, pengarang novel best seller Alchemist, sedang berlibur di Spanyol. Pada saat sedang berjalan di stasiun kereta, ia berpapasan dengan seorang pengemis. Coelho ingin membantu pengemis itu, tapi sebelum memberi, ia berpikir: Hey, aku adalah seorang turis, pengemis seperti ini umum ditemui dimana pun.
Akhirnya ia pun bergegas pergi. Meninggalkan pengemis tadi.
Malam hari, entah mengapa, Coelho kembali terkenang wajah sang pengemis. Ia sudah bertemu ribuan peminta-minta, tetapi ekspresi sang pengemis menimbulkan iba yang mendalam. Ia sampai tidak bisa tidur. Terus menyesal. Mengapa ia tidak membantu orang yang kesusahan ketika ada kesempatan?
Besoknya, ia kembali ketempat sang pengemis berada. Nihil. Tak ada disana. Ia lalu memutuskan berjalan-jalan mengelilingi kota, berharap berpapasan dengan orang miskin yang terus menghantui hidupnya. Tapi tetap saja, hingga liburannya usai, tak ada lagi pertemuan yang diharapkan.
Coelho lalu kembali ke Brazil. Berharap melupakan kejadian dengan pengemis itu. Tapi percuma. Sang pengemis terus hadir di kehidupan Coelho. Menciptakan penyesalan, ketersiksaan, dan penderitaan. Sadar jika Tuhan memiliki rencana besar, tidak butuh waktu lama bagi Coelho untuk kembali ke Spanyol. Kali ini bukan demi liburan penuh kesenangan, tapi menjawab teka-teki yang terus menghantui. Tujuannya Cuma satu: menunaikan kebaikan yang sempat tertunda!.
Satu-dua hari berlalu. Menjadi seminggu. Coelho sudah mengelilingi kota, hingga sudut-sudut tersempit. Hasilnya nihil. Pengemis itu bagaikan menghilang tanpa jejak. Waktu kepulangan sudah semakin mendesak. Coelho tidak menyerah. Ia menelpon agen perjalanannya, memberikan instruksi gila: tidak membeli tiket pulang ke Brazil. Ia takkan kembali sebelum menemukan pengemis malang yang seharusnya ia bantu.
Sampai akhirnya, suatu hari Coelho menemukannya. Di dekat stasiun kereta yang sama. Tak perlu berpikir lama, Coelho langsung menyerahkan semua uang yang ada di kantongnya. Lalu pergi, meninggalkan pengemis malang ini, meninggalkan Spanyol, dan kembali ke Brazil. Akhirnya ia menemukan kedamaian.
Kebahagiaan
Jika tujuan kehidupan adalah mencari kebahagiaan materi, maka apa yang dilakukan Coelho sungguh irasional. Bertentangan dengan logika ekonomi mana pun. Bagaimana mungkin ia menghabiskan ribuan dollar terbang dari Brazil ke Spanyol hanya untuk menemukan seorang pengemis!. Bukankah ketika kita memberikan harta kita, itu berarti kerugian secara ekonomis?
Tapi kenyataannya, kepuasan hidup tidak selalu dicapai hanya dengan memenuhi kebutuhan hidup. Manusia adalah makhluk dimensional. Tidak hanya berurusan dengan kebutuhan ekonomis parsial, tapi juga social emosional, dan transcendental spiritual.
Salah satu filsuf klasik Yunani, Epicurus, memberikan nasihat untuk manusia yang sedang mencari kebahagiaan: Lakukan apa yang membuatmu bahagia, jangan lakukan apa yang membuatmu menderita.
Aristoteles, membantah pendapat Epicurus. Bagi dia, eudaimonia, kebahagiaan, didapat dengan mengembangkan potensi yang diberikan Tuhan, bagi kebaikan kemanusiaan. Pendapat senada didukung oleh penganut utilitarianisme, dan juga altruism. Anda baru menjadi ada, ketika berguna bagi yang lainnya.
Riset-rise modern juga membuktikan, orang yang berbagi, cenderung lebih berbahagia. Penelitian Elizabeth Dunn dari Universitas British Colombia menunjukkan responden yang mendermakan uang mereka, cenderung lebih bahagia dari responden yang menggunakannya hanya demi kepentingan pribadi. Penyelidikan neuro-biologi dari Duke University lebih dahsyat lagi, membantu sesama akan mengaktifkan bagian otak yang disebut posterior superior temporal cortex.
Saya sengaja mengutip pengalaman Coelho diatas, karena betapa seringnya saya menunda dan melewatkan kesempatan berbuat kebaikan. Belum lagi kebiasaan melakukan perhitungan dan hati yang sering dicengkam ketakutan. Takut kekurangan, takut penderitaan, dan takut mengalami kerugian. Saya sering lupa jika eudaimonia hanya ada didalam kerja-kerja sederhana untuk sesama.

Rabu, Juli 16, 2014

SOLILOQUY




"Hey me, what's up?"
"Nothing interesting, at least for today".
"C'mon, I am you, and this conversation happens in your head".
"Well, if im allowed to say, im tired of all these shits".
"Yeah, I understand"
"But you did nothing".
"Nothing is something".
"Enough shitty head".
"Well, me, often you have to surrender to this force".
"Why don't you encounter, fight back? ".
"Now this matter is different, a whirlpool, strange tide
The more you resist, the more you deny, the more you will suffer".
"Im already suffocated".
"No you didn't, you still can talk to me".
"You're not funny, me".
"But you laughed".
"Fine, so after I surrender myself, will you say I'll be happy?".
"No, definitely not".
"Then why the hell you told me to surrender?".
"Because I dont wanna you to suffer".
"Are those different? ".
"Absolutely".
"Tell me!".
"I can guide you how not to suffer, but to be happy, it's all your choice".
"Choice of what?".
"How you respond, how you act, and how you believe".
"Nah, it's just your words tricks ".
"You may say that, but remember, words are powerful enough to change your fate".
"How?".
Your prayers, Dua's, aren't those words too?".
"Okay, go on".
"Now do you remember all books you read, comics, animes, movies you've watched? ".
"Mostly, yes".
"Why were the main characters in those tales triumphed, mostly?".
"Because they're powerfull?".
"Nope, well some of them have superpowers, but others are even ordinary yet miserable".
"So what's the points".
"Because they never give up, for something they believe in".
"Damn, you told me to surrender but now indirectly tell me to not give up".
"Retard, both are different".
"Eh?".
"Surrender doesn't mean giving up, it means to accept, to embrace ".
"Okay, so it's like the concept of the dark night?".
"Yea, but it's on higher level".
"Then let's just call it the darker night".
"Hahahaha, now it's you the funny one".
"Okay, now tell me what should I do?".
"You have to embrace the reality, whether it's truth or lie, then make choice".
"Choice, is it possible to make options?".
"No, don't, if you go on two or more paths, you'll end up going on nothing".
"Well, it's hard".
"I tell you this shit, because I know you're able".
"Meh, you believed in me?".
"Stupid, I am you, who else should I believe in?".

Islamabad,
Ridwan Miftahurrochman

Jumat, Mei 02, 2014

GUNUNG DAN PENDAKIAN: KAJIAN FILOSOFIS



SALAM RIMBA..........................

Untuk orang-orang yang menghargai hidup dengan bertualang mempertaruhkan hidup

“Allah telah menjadikan bumi terhampar luas untukmu, agar kamu dengan bebas meniti jalan-jalan yang terbentang di bumi” (Al Quran Surat Nuh: 19-20)

“....Gunung-gunungpun Ia pancangkan, untuk kesenanganmu..........” (Al Quran Surat An Naazi’aat: 32)

“Kamilah yang menghamparkan bumi, dan kami pula yang menegakkan gunung-gunung, serta menumbuhkan segalanya dengan imbang” (Al Quran Surat Al Hijr: 19)

“Allah menjadikan sebagian ciptaanNya sebagai tempat bernaung untukmu, dan menjadikan gunung-gunung sebagai tempat berlindung....” (Al Quran surat An Nahl: 81)

“Dialah yang membentangkan bumi dan menciptakan gunung-gunung dan sungai-sungai disana. Dia menjadikan semua jenis buah-buahan, masing-masing berpasangan. Dia pulalah yang menutupkan malam pada siang. Sungguh, dalam semua itu terdapat ayat-ayat kebesaranNya bagi kaum yang mau berpikir” (Al Quran Surat ar Ra’ad: 3)

“Katakanlah: Berjalanlah di muka bumi!”
(Petikan dari buku “La Tahzan” karya DR. Aidh Al-Qarni)

Di antara perkara yang dapat melapangkan dada dan meleyapkan awan kesedihan dan kesusahan adalah berjalan menjelajah negeri dan membaca “buku penciptaan” yang terbuka lebar ini untuk menyaksikan bagaiman pena-pena kekuasaan menuliskan tanda-tanda keindahan di atas lembaran-lembaran kehidupan. Betapa tidak, karena anda akan banyak menyaksikan taman, kebun, sawah dan bukit-bukit hijau yang indah mempesona.
Keluarlah dari rumah, lalu perhatikan apa yang ada di sekitar Anda, di depan mata anda, dan di belakang Anda! Dakilah gunung-gunung, jamalah tanah di lembah-lembah, panjatlah batang-batang pepohonan, reguklah air yang jernih, dan ciumkan hidungmu di atas bunga mawar! Pada saat-saat yang demikian itu, Anda akan menemukan jiwa Anda benar-benar merdeka dan bebas seperti burung yang berkicau melafalkan tasbih di angkasa kebahagiaan. Keluarlah dari rumah Anda, tutup kedua mata Anda dengan kain hitam, kemudian berjalanlah di bumi Allah yang sangat luas ini dengan senantiasa berdzikir dan bertasbih.

Marilah sekali-kali kita membaca Al-Qur’an di tepi-tepi sungai, di pinggiran hutan yang rimbun, di antara burung-burung yang sedang berkicau membaca untaian puisi cinta, atau di depan gemericik aliran air sungai yang sedang mengisahkan perjalanannya dari hulu ke hilir. Marilah sesekali kita berjalan menjelajah pelosok negeri untuk mencari ketenangan, bergembira, berpikir, dan sekaligus menghayati ciptaan Allah yang sangat luas ini.
(Dan, mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):”Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau”)
(Al Quran surat Ali Imran: 191)

APA ITU FILSAFAT PENDAKIAN ?

Filasafat dapat diartikan sebagai pemikiran secara mendalam, artinya pemikiran terhadap sesuatu yang didasari dengan pikiran dingin dan tenang. Filsafat adalah ilmu lebih lanjut dari beberapa tahapan ilmu.
Contoh dalam ilmu agama islam, terdapat ilmu Aqidah/Tauhid yang merupakan ilmu dasar dalam agama islam seperti diwajibkan untuk melakukan shalat, kemudian ada tahapan ilmu yang lebih lanjut yakni ilmu fikih yang membahas tentang tatacara melakukan shalat, dan ilmu yang lebih dalam lagi yakni ilmu tasawuf yang membahas tentang hakikat shalat seperti mengapa diwajibkan shalat, untuk apa shalat itu dan apa manfaat shalat itu dsb. Nah..... ilmu tasawuf inilah yang bisa juga dikatakan sebagai filsafatnya ilmu agama islam.

Namun antara kata agama dan filsafat harus tetap dibedakan, karena dua hal ini sepertinya sama namun hakikatnya sebenarnya sangat berbeda. Dalam bahasa inggris, antara filsafat dan agama termasuk bidang yang sama yang disebut Ultimate, yakni bidang yang terpenting yang menjadi soal hidup atau mati seseorang, dan bukan persoalan remeh. Perbedaan antara agama dan filsafat tidak terletak dalam bidangnya, akan tetapi dalam caranya kita menyelidiki bidang itu sendiri.

Perbedaan antara agama dengan filsafat, ialah bahwa agama banyak berhubungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang dingin dan tenang.
Agama bukanlah filsafat, tapi filsafat bisa termasuk dalam ilmu agama ataupun ilmu-ilmu umum yang lainnya.

Dengan demikian, filsafat pendakian dapat diartikan sebagai pemikiran yang lebih dalam lagi dari beberapa ilmu pendakian gunung lainnya seperti ilmu navigasi, packing, survival dsb itu. Satu hal yang lebih penting lagi adalah, dalam filsafat pendakian lebih menggunakan pendekatan dialektis yang berarti kritik yang berulang-ulang dan teliti terhadap sebuah permasalahan. Juga lebih mengarah kepada analisis yang bersifat filosofi atau pengungkapan kebenaran-kebenaran yang hakiki.

Jadi filsafat pendakian merupakan ilmu lebih lanjut dari beberapa tahapan ilmu pendakian gunung lainnya. Oleh karena itu, yang dibahas adalah seputar permasalahan pendakian gunung yang akan dikaji secara lebih dalam. Filsafat pendakian dapat juga dikatakan sebagai ilmu yang mengkaji tentang hakikat mendaki gunung.

Namun demikian, meskipun “Filsafat Pendakian” ini merupakan ilmu tingkatan lebih lanjut dari tahapan beberapa ilmu tentang pendakian yang lain. Untuk mempelajarinya tidak memerlukan jenjang tertentu, karena ilmu filsafat pendakian tidak untuk para pendaki yang lebih senior saja tetapi bisa dipelajari oleh pendaki pemula sekalipun, bahkan mungkin akan lebih baik jika ilmu filsafat pendakian dijadikan dasar sebelum kita terjun ke dalam dunia “Pendakian gunung”.

MENGAPA PERLU ADANYA FILSAFAT PENDAKIAN?

Mendaki gunung pada awalnya merupakan sebuah kegiatan yang harus dilakukan oleh seseorang untuk sebuah keperluan tertentu, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.

Kegiatan mendaki gunung sebenarnya sudah dilakukan oleh orang-orang pada masa prasejarah (Manusia purba). Di Indonesia saja, mereka (manusia purba) sudah mendaki gunung untuk mencari goa-goa sebagai tempat tinggal mereka, meskipun ada juga goa yang berada tepat di pinggiran laut seperti di daerah Irian Jaya tetapi masih lebih banyak goa-goa tempat tinggal manusia purba yang diketemukan di lereng-lereng gunung bahkan di puncak gunung.
Hal itu dapat dibuktikan dengan diketemukannya beberapa situs purbakala yang berupa goa tempat tinggal manusia purba di lereng dan puncak gunung yang ditandai dengan adanya beberapa lukisan purba di dinding-dinding goa seperti di Goa leang-leang (Sulawesi selatan). Mereka (manusia purba) mendaki gunung untuk keperluan mencari tempat tinggal, berburu atau mencari lahan baru untuk bercocok tanam.

Memasuki masa awal sejarah, yakni pada masa kerajaan-kerajaan khususnya di Indonesia. Kegiatan mendaki gunung tetap dilakukan dan tujuannya pun menjadi lebih beragam lagi. Kegiatan mendaki gunung lebih banyak dilakukan untuk kepentingan agama, yakni mencari tempat nyepi untuk melakukan pertapaan, seperti diketemukannya beberapa situs candi di lereng gunung Penanggungan (Jawa timur), adanya puri tempat pertapaan “Mahkuto Romo” di lereng gunung Arjuno yang kemungkinan dibuat pada masa kejayaan kerajaan Singosari, dan ditemukan juga puri tempat pertapaan di puncak gunung Argopuro yang diyakini sebagai tempat pertapaan dewi Rengganis, meskipun kita tidak pernah tahu pasti siapa sebenarnya dewi Rengganis itu? Apakah tokoh yang benar-benar ada atau hanya tokoh dalam dongeng saja.
Demikian pula pada masa keruntuhan kerajaan Majapahit, banyak para kaum bangsawan yang melarikan diri dari musuh dengan mendaki gunung untuk bersembunyi maupun mengasingkan diri. Di daerah gunung Bromo, terdapat suku Tengger yang diduga nenek moyangnya masih keturunan kerajaan Majapahit (Roro Anteng) yang melarikan diri dari kejaran musuh dengan mendaki gunung. Ada juga yang beranggapan mereka melakukan tirakat untuk mendaki gunung Tengger guna mendapatkan keturunan.

Dikisahkan, pada akhirnya Roro Anteng menikah dengan Joko seger (nama mereka kemudian dijadikan sebagai nama gunung “Tengger”), namun karena tidak dikaruniai anak maka mereka mendaki gunung (sekarang gunung Tengger dan Bromo) untuk memanjatkan doa kepada dewa agar mereka dikaruniai anak yang banyak. Dengan demikian, kegiatan mendaki gunung sudah memiliki tujuan yang berbeda dengan para manusia purba.
Memasuki masa neo klasik, yakni pada masa penjajahan. Kegiatan mendaki gunung memiliki tujuan yang berbeda lagi,
seorang ahli geologi berkebangsaan Belanda bernama Clignet (1838) diketahui sebagai orang pertama yang mendaki gunung Semeru (Jawa Timur) dengan tujuan untuk penelitian struktur tanah dan kemudian dilanjutkan oleh ahli botani Junhuhn (1945) yang mendaki gunung Semeru untuk meneliti jenis-jenis tumbuhan berdasarkan ketinggian.

Pada masa yang sama, bangsa Indonesia mendaki gunung untuk keperluan taktik perang. Panglima Jendral Sudirman dan para prajuritnya mendaki gunung dan perbukitan di daerah jawa tengah untuk menjalankan taktik perang gerilya melawan Belanda, demikian pula Pahlawan Supriadi memimpin pasukan gerilya dengan menjelajahi kawasan gunung kelud di sekitar daerah Blitar-jawa timur.

Konon bangsa Belanda juga turut mendaki gunung Argopuro untuk membuat landasan pesawat terbang di lereng gunung Argopuro guna mengangkut hasil pengalengan daging rusa (sekarang Cikasur). Dari sini kita bisa melihat tujuan dari mendaki gunung menjadi semakin beragam.
Kemudian, kegiatan mendaki gunung sudah berubah menjadi kegiatan yang bertujuan untuk hobi atau kesenangan diri sendiri. Para pendaki gunung telah memiliki tujuan yang lebih beragam lagi, yakni ingin menjadi orang pertama yang menjejakkan kaki di puncak-puncak gunung yang masih perawan. Mendaki gunung sudah berubah tujuannya, yakni untuk ‘kemasyuran’. Mengapa mereka gila akan puncak gunung?
Pada awalanya mencapai puncak gunung merupakan kepuasan pribadi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, sama halnya dengan kenikmatan penulis ketika berhasil membius para pembacanya, atau kenikmatan seorang seniman ketika berhasil menyelesaikan karyanya dan kemudian diapresiasi oleh pengamat.

Jadi, sebenarnya para pendaki gunung itu seperti seorang pemimpi yang haus untuk menggapai mimpinya, sehingga saat mimpi-mimpinya terwujud ada rasa bahagia dan kepuasan yang begitu besar dan seolah tak dapat diungkapkan atau ditukar dengan apapun.
Dapat juga dikatakan bahwa seorang pendaki sebenarnya hampir sama dengan para pejelajah atau para penemu seperti Colombus, Amerigo Vespuci atau Vasco da Gama yang berani menjelajah hanya sekedar untuk menjawab rasa ingin tahunya.

Para pendaki juga memiliki kesamaan sifat dan karakter dari seorang seniman seperti Leonardo Da Vinci, Van Gogh atau Affandi yang selalu melangkah dengan bebas, haus akan sesuatu yang baru, selalu berpikir dengan cara yang tak pernah terpikirkan oleh seorangpun sebelumnya, memiliki kepekaan sosial yang tinggi, rendah hati, unik dan selalu berbeda. Sampai pada akhirnya, ketabahan dan keikhlasannya mampu mengantarkannya kepada keagungan yang membuatnya hidup abadi sebagai Pecinta Alam sejati.

Sir Hillary saat pertama kali menjejakkan kakinya di puncak tertinggi dunia, “Mount Everest”. Tidak pernah menyatakan bahwa beliau-lah sang raja petualang atau akulah yang paling hebat. Ini terbukti dengan sulitnya mengungkap siapa orang pertama yang sampai di puncak tertinggi dunia itu, Sir Hillary atau Wim Poche (Porter) yang menemaninya? Kenyataannya mereka sepakat menyatakan bahwa mereka menjejakkan kaki di puncak secara bersamaan. Mengapa? Karena saat pertama kali berangkat, niatnya hanya satu, mendaki everest karena memang Ia harus mendaki demi memenuhi panggilan jiwa. Dan justru karena komitmen itulah yang menjadikannya dikenal dan hidup abadi.

Coba kita bandingkan saat ini. Betapa banyaknya pendaki yang melakukan ekspedisi mendaki gunung, baik secara solo atau tim hanya untuk menggapai puncak atau mengoleksi puncak-puncak gunung ternama demi mencari popularitas atau menambah image pribadi.
Kenyataannya, ekspedisi-ekspedisi tersebut hanya seperti kegiatan yang sepintas lalu saja, setelah ekspedisi selesai, tak pernah lagi dibicarakan oleh orang lain, dibahas untuk ilmu pengetahuan, apalagi untuk dikenang.

Meskipun akhirnya para pendaki yang “haus gengsi”ini harus bersikap “Vandalis” agar orang lain mengenalnya dengan cara mencoretkan namanya diantara batu-batu, pohon-pohon atau papan peringatan, tetapi ternyata sebenarnya justru mereka sedang merusak namanya sendiri.
Jadi, kegiatan mendaki gunung kini memiliki tujuan yang lebih beragam lagi, yakni prestise atau image. Dimana para pendaki berlomba untuk mencapai atau mengoleksi puncak gunung demi keperluan gengsi atau untuk mengangkat prestasi dan menjadi lebih dikenal. Para pendaki gunung segera mendapat dukungan dari negara untuk kepentingan propaganda politik, dan puncak everest adalah salah satu sasaran paling dibidik karena merupakan puncak tertinggi di muka bumi, dengan demikian apabila berhasil mengibarkan bendera di puncak tertinggi dunia, itu berarti “ Saya-lah yang tertinggi”. Bangsa Indonesiapun pernah melakukannya, yakni ketika pendaki terbaik kita melakukan ekspedisi “Seven Summit” yang berakhir dengan pendakian ke puncak Evereset (1997). Negara Indonesia mendukung mereka guna meningkatkan martabat bangsa dengan mengibarkan bendera merah putih di puncak tertinggi dunia yang juga berarti kami bangsa Indonesia juga bisa menjadi yang tertinggi.

Tujuan pendakian yang satu ini cukup cepat berkembang dan segera merasuki organisasi-organisasi Pecinta Alam, baik yang independen maupun yang berdiri dibawah naungan sebuah departemen, pendidikan misalnya.

Akhirnya dengan cepat menjamur kelompok Pecinta alam di Indonesia dan tak jarang yang program utamanya adalah menggapai puncak gunung sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan image atau prestise dengan mengajukan puluhan proposal agar setiap XPDC yang mereka lakukan mendapat dukungan dana dari sponsor. Banyak ekspedisi digelar, dan orang-orang beramai-ramai mendaki gunung. Gunung-gunungpun dijadikan obyek rekreasi tanpa adanya upaya pelestarian alam sehingga berdampak pada kotornya gunung dengan sampah-sampah.

Ada juga yang berlomba untuk membuka jalur pendakian sendiri tanpa tujuan dan manfaat yang jelas, hanya untuk mempercepat meningkatkan image kelompok organisasi yang pada akhirnya justru karena banyaknya jalur-jalur liar itu membuat banyak pendaki yang tersesat dan hilang, jalur-jalur liar itu juga menjadi akses mudah bagi para penebang dan pemburu liar untuk mengeksplorasi hutan, sehingga berdampak pada kerusakan hutan di gunung-gunung, lebih parahnya lagi negara tidak lagi peduli akan kelestarian hutan.

Hal itu menjadi sangat ironis sekali dengan nama mereka “PECINTA ALAM” yang notabene sebagai kaum yang mencintai alam tetapi pada kenyataannya tidak ada sama sekali kegiatan untuk melestarikan alam, yang nampak hanyalah sejumlah ekspedisi-ekspedisi sekedar mencapai puncak gunung saja bukan ekspedisi untuk keperluan penelitian, bersih-bersih gunung dari sampah atau ekspedisi penghijauan hutan dsb. Dan yang lebih menyedihkan lagi, banyak yang tidak mengetahui atau bahkan melupakan nilai-nilai berharga yang bisa diambil dari kegiatan mendaki gunung.

Untuk itu kita perlu mengkaji kembali tentang hakikat mendaki gunung yang selama ini telah diabaikan, mengapa kita mendaki gunung, untuk apa serta bagaimana mendaki gunung dan menjadi Pecinta Alam yang lebih baik ? Karena itu kita perlu kembali mempertanyakan tujuan kita mendaki gunung, salah satunya yakni dengan mempelajari filosofi mendaki gunung melalui

PENDAKI DAN PECINTA ALAM

Selama ini kita selalu menganggap bahwa seorang pendaki gunung itu pasti dia adalah pecinta alam, sebaliknya seorang pecinta alam itu pasti juga seorang pendaki gunung. Untuk lebih jelasnya sebaiknya kita kaji kedua istilah itu sehingga kita tidak akan terjebak pada pemahaman yang keliru.

Seorang pendaki gunung dapat dikatakan sebagai orang yang gemar atau memiliki hobi melakukan kegiatan mendaki gunung. Para pendaki tidak memiliki motivasi lain selain hanya sekedar melakukan kesenangannya sendiri yakni mendaki gunung, mencari ketenangan, udara segar, kebersamaan atau menikmati keindahan alam, baik secara individu maupun secara berkelompok.

Sedangkan seorang pecinta alam adalah orang yang hidupnya benar-benar tidak bisa lepas dari alam, ciri-cirinya orang ini tidak akan betah untuk berlama-lama tinggal di keramaian kota yang padat, bising dan penuh polusi, mereka serasa tak bisa hidup bahagia jika tidak bercengkrama dengan alam dan jangan coba-coba mengekang mereka karena mereka memiliki jiwa yang sangat bebas, pemberontak dan sulit dipahami. Namun mereka memiliki kepribadian yang sangat luar biasa, tidak sombong, supel, ramah dan tak pernah putus asa sebagai buah dari hasil didikan sang alam.

Antara pendaki gunung dan pecinta alam sebenarnya memiliki kesaman, yakni sama-sama termasuk ‘orang-orang yang mencintai alam’. Namun kadar mencintai alamnya itulah yang membedakan diantara keduannya. Seorang pendaki gunung, mencintai alam hanya pada bagian luar nya saja, mereka sudah cukup puas jika bisa melihat, mendengar atau merasakan suasana alam dan tidak memiliki semangat untuk menjaga kelestariannya.

Sedangkan pecinta alam, mencintai alam secara total, baik unsur luarnya maupun unsur didalamnya seperti halnya apabila seseorang mencintai orang yang dicintainya, tentu ada yang mencintai hanya karena fisiknya, karena hatinya atau bisa karena keduanya. Nah para pecinta alam ini adalah orang-orang yang mencintai alam baik karena fisiknya maupun karena hatinya. Bagaimana kita bisa mencintai hati sang alam? Yakni dengan mencintai sifat-sifat alam seperti: Sifat alam yang sangat sulit ditebak karena terkadang bisa menjadi sahabat dan ada kalanya bisa menjadi musuh yang sangat kejam, namun sesungguhnya alam hanyalah makhluk Tuhan yang pendiam dan sangat rapuh.

Para pecinta alam adalah orang-orang yang mencintai alam disaat sedang bersahabat ataupun disaat sedang rapuh dan tak bersahabat.
Dari penjelasan tersebut, ternyata pendaki dan pecinta alam sebenarnya memilki perbedaan meskipun keduanya juga memilki kesamaan.
Untuk lebih mempermudah pemahaman, berikut adalah contoh nyata:
Apabila di sebuah gunung telah terjadi tanah longsor, pembukaan lahan, penggundulan, atau kebakaran hutan yang menyebabkan gunung menjadi gersang, panas dan tak nampak indah lagi. Maka para pendaki gunung tidak akan tertarik lagi untuk datang dan mendaki gunung tersebut, karena secara fisik gunung tersebut sudah cacat. Namun bagi para pecinta alam keadaan gunung yang seperti itu membuat mereka resah dan merasa bahwa gunung tersebut sedang terluka parah dan secepatnya harus diobati dengan segera melakukan penghijauan kembali. Itulah salah satu contoh orang yang mencintai alam secara total.

Pada saat sama-sama melakukan pendakian gunung, para pendaki gunung hanya memiliki satu tujuan yakni mendaki gunung sampai meraih puncak tanpa menghiraukan sampah-sampah yang ditemuinya atau bahkan mereka sengaja membuang sampah-sampah mereka sendiri secara sembarangan karena merasa sampah hanyalah beban. Sedangkan pecinta alam yang sedang mendaki gunung, puncak bukanlah satu-satunya tujuan karena tujuan utama mereka adalah perjalanan itu sendiri. Para pecinta alam tidak akan membuang sampah sembarangan dan mereka tak akan segan untuk mengumpulkan setiap sampah yang ditemuinya karena mereka paham betul akan bahaya sampah bagi kelestarian alam.

Pendaki gunung dan pecinta alam adalah orang yang memiliki kepribadian yang berbeda karena tujuan mereka juga berbeda. Tidak perlu menilai mana yang lebih baik diantara keduanya, sebab jauh lebih baik jika kita memilih menjadi pendaki gunung yang pecinta alam.

PENDAKI GUNUNG PECINTA ALAM DAN PETUALANG

PENDAKI GUNUNG, PECINTA ALAM DAN PETUALANG......., sekilas memang istilah tersebut hampir sama namun sesungguhnya sangat berbeda. Tentang Pendaki dan Pecinta alam sudah dibahas sebelumnya, tetapi bagaimana dengan petualang?
Petualang, sebenarnya sangat identik dengan seseorang yang memiliki keberanian dan rasa ingin tahu yang begitu besar dan melebihi orang-orang pada umumnya. Seorang petualang bisa dibilang sebagai penjelajah yang siap bertaruh dengan apapun yang Ia miliki sampai dengan nyawanya sekalipun. Seorang petualang alam sejati tidak akan pernah berhenti untuk tetap menjelajahi alam yang belum pernah Ia jejaki.

Seorang petualang biasanya selalu menjadi pioner diantara kaumnya meskipun sesungguhnya Ia tidak pernah berniat untuk menjadi orang pertama atau mencari sensasi dan popularitas , karena yang mereka cari adalah terjawabnya rasa ingin tahu yang begitu besar di dalam pikirannya. Oleh karena itu, seorang petualang hidupnya tak pernah “stagnan”, Pribadinya begitu dinamis, optimis dan memiliki semangat yang tak wajar. Mereka berpetualang untuk memenuhi kebutuhan dirinya, sebab rasa ingin tahunya yang terlampau besar akan menyiksanya jika terus-terusan dipendam. Namun karena keberanian dan semangatnya itulah yang justru dengan sendirinya akan membuatnya dikenal dan hidupnya abadi karena orang lain akan selalu membicarakan apa yang Ia temukan dalam setiap penjelajahannya.

Kita bisa mengambil contoh seorang “Amerigo Vespuci atau Colombus” yang gemar berpetualang. Sampai kini orang-orang akan tetap mengenangnya sebagai penemu benua Amerika. Padahal meskipun mereka tidak pernah mengadakan ekspedisi menyeberangi samudera atlantik, benua Amerika sebenarnya memang sudah ada. Namun karena mereka orang yang pertama kali berani menyeberangi samudera yang konon dipenuhi ular naga dan gurita raksasa, akhirnya mereka juga yang kini lebih dikenal.

Karena mereka bekerja dengan hati, maka sesungguhnya popularitas dengan sendirinya akan mengiringi. Lalu, lebih baik mana antara Pendaki gunung, Pecinta alam atau Petualang?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, adalah lebih mudah jika kita mengacu pada tujuan yang ingin dicapai. Mengapa? Sebab bagimanapun besarnya semangat atau keberanian seseorang, jika tujuannya tidak baik dan kurang bermanfaat maka dengan sendirinya sesungguhnya orang itu akan dipandang buruk.

Contoh:
- Seorang pendaki gunung atau pecinta alam berniat untuk mendaki gunung sampai puncak, dalam perjalanan Ia menemukan sampah dan kemudian ia ambil untuk dibawa sampai turun dan membuangnya di tempat sampah. Lain cerita, ada seseorang yang gemar sekali berpetualang dengan menjelajahi hutan. Sampai suatu saat Ia menemukan sumber mineral yang berharga, sehingga kemudian Ia segera menjual kepada pihak pengelola karena Ia tahu bahwa informasi yang Ia miliki pasti sangat mahal harganya. Akhirnya masuklah pengelola kedalam hutan dan melakukan penambangan besar-besaran tanpa memperhatikan kelestarian alam sekitar.

Adalagi contoh sebagai berikut:

- Sebuah kelompok Pecinta alam berniat mengadakan penghijauan di lahan hutan yang gundul dengan harapan nama kelompoknya akan dikenal atau mendapatkan penghargaan dari pihak-pihak terkait sehingga anggotanya akan semakin bertambah dan bisa lebih mudah untuk mencari dana guna mengadakan sejumlah ekspedisi pendakian gunung yang tujuannya tak lain hanya mengoleksi puncak sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan prestise organisasi.
– Ada seorang yang gemar sekali berpetualang, kali ini Ia ingin mengadakan ekspedisi mendaki gunung dengan membuka jalur baru sebab menurut keterangan masyarakat sekitar, ada aliran sungai yang cukup deras yang mengalir dari lereng gunung, tapi tidak satupun orang yang berani untuk mencari sumber air tersebut karena masuk kedalam wilayah hutan yang disakralkan. Untuk menjawab rasa penasaran itu, maka sang petualang ini membuka jalur baru dan berhasil menemukan air terjun dan beberapa sungai yang belum pernah terjamah oleh manusia. Akhirnya, jalur yang Ia lalui kini menjadi jalur pendakian baru yang cukup diminati karena selain pemandangannya yang menarik, juga mudah untuk mencari air. Kemudian sang petualang ini bekerja sama dengan sejumlah pecinta alam dan pemerintah setempat untuk menjadikan kawasan yang telah Ia ketemukan itu sebagai kawasan Taman nasional yang harus dilindungi demi menghindari pengrusakan atau penebangan hutan secara liar .

Dari beberapa contoh diatas, bisa kita lihat manakah yang jauh lebih baik. Dengan begitu kita akan mengerti bahwa kunci dari setiap melakukan sesuatu itu terletak pada tujuannya.
Kita tidak bisa menilai sesuatu hanya berdasarkan nama atau sebutan saja. Jadi lebih baik lagi jika Para pendaki gunung itu selain merangkap sebagai Pecinta alam juga merangkap sebagai petualang sejati yang selalu bekerja dengan hati, keberanian dan semangat yang tinggi tanpa tujuan apapun selain untuk perubahan menuju ke arah yang lebih baik dan bermanfaat untuk alam dan orang lain.

Jika kita mampu bekerja dengan ketulusan hati dan keberanian, sesungguhnya popularitas atau keabadian hidup itu akan hadir dengan sendirinya untuk mengiringi setiap langkah yang kau jejaki.
Jadi, lebih baik menjadi “pendaki gunung yang pecinta alam dan berjiwa petualang sejati”. Pasti jiwa dan jasadmu akan selalu dirindukan oleh alam dan orang-orang akan angkat topi kepadamu meskipun biasanya selalu terlambat.

MENJAWAB PERTANYAAN ATAU ANGGAPAN K L A S I K

Ada beberapa pertanyaan atau anggapan klasik yang mungkin sampai sekarang masih saja ditanyakan kepada para penggiat kegiatan alam bebas. Pertanyaan dan anggapan-anggapan klasik yang sudah pasti menjadi santapan basi bagi para pendaki gunung, pecinta alam ataupun para petualang alam bebas di seluruh dunia.
Pertanyaan-pertanyaan seperti:
*Untuk apa mendaki gunung?
*Apa manfaat dari mendaki gunung?
*Keuntungan apa yang bisa diambil dari mendaki gunung?
*Apa yang diberikan gunung kepadamu?
Atau anggapan-anggapan seperti:
* Mendaki gunung hanya perbuatan menyia-nyiakan waktu, tenaga dan uang saja.
* Para pendaki gunung itu adalah kaum”Hedonist” yang hanya memuja kesenangan-kesenangan secara berlebihan.
* Para pendaki gunung adalah orang-orang yang memiliki kelainan jiwa “Amor Fati” atau orang-orang yang mencintai kematian.
* Tewas saat mendaki gunung adalah mati konyol.
Coba kita renungkan kembali beberapa pertanyaan atau anggapan-anggapan klasik tersebut. Meskipun terkesan biasa atau mungkin tidak terlalu sulit untuk dijawab. Pada kenyataannya, jawaban-jawaban yang mungkin bisa membuat mulut kita sampai berbusa untuk menjelaskannya itu, ternyata tak pernah bisa dijawab atau dijelaskan oleh para pendaki, sehingga memuaskan atau minimal mampu membuat orang-orang yang bertanya menjadi terkesan dan mau mengerti.

Mengapa demikian?
Sekali lagi................Sesungguhnya hal-hal yang terlihat mudah justru adalah hal yang paling sulit. Seperti kata orang-orang bijak” Orang besar selalu mudah mengatasi masalah-masalah besar, tetapi selalu mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan masalah-masalah kecil”
Mungkin hampir semua pendaki gunung akan dengan mudah mengatasi rasa dingin, medan yang berat atau alam yang kejam karena telah terbiasa, tetapi ketika dihadapkan pada pertanyaan dan anggapan seperti itu dari orang-orang terdekatnya, belum tentu semua pendaki gunung mampu mengatasinya. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk diam atau menghindar daripada harus melakukan sesuatu yang menurutnya sia-sia saja, yakni “Menjelaskan kepada orang yang nggak mungkin bisa ngerti”. Ada juga yang langsung menjawab” Kalau ingin tahu ya coba aja sendiri!”.

Meskipun pertanyaan atau anggapan-anggapan seperti itu sebenarnya sudah sangat “klise” atau bahkan sudah berkarat di otak para pendaki gunung, ternyata tak mudah untuk menjawab atau menjelaskannya.

Untuk menjawabnya memang dibutuhkan penjelasan yang bisa membuat orang-orang yang bertanya itu, menjadi turut berpikir kembali. Bukan justru membingungkannya atau membuatnya menjadi semakin tidak simpatik.

Pendaki gunung itu adalah orang-orang yang telah berguru pada alam. Guru yang langsung diciptakan oleh Tuhan untuk mengajarkan segala sesuatu kepada kita. Jadi bisa dibilang, orang-orang yang berguru pada alam itu sesungguhnya telah berguru pada sang maha guru. Maha guru yang lebih banyak memberi dan tak pernah meminta.

Karena ilmu tanpa batas itu sumbernya dari Tuhan, maka alam adalah sebagai medianya. Nabi Musa saja harus mendaki gunung Sinai ketika akan mendapatkan kitab Taurat. Nabi Muhammad juga harus mendaki bukit (jabal) dan tinggal di Gua Hiro yang tidak semua orang bisa mdengan mudah menggapai tempat tersebut, sebelum akhirnya menerima wahyu yang pertama. Demikian pula para empu yang harus mendaki gunung untuk bertapa sampai pada akhirnya mendapatkan pencerahan berupa ilmu atau kesaktian.

Kita tidak harus seperti para nabi atau empu, minimal ketika kita berniat untuk mendaki gunung selalu ada tujuan yang pasti, meskipun tujuan yang paling rendah sekalipun yakni sekedar hobi. Dengan demikian kita akan dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. “Saya mendaki gunung karena hobi dan kebetulan ada cukup uang, daripada saya mabuk-mabukan, judi atau melakukan kegiatan negatif lainnya, bukankah lebih baik mendaki gunung..? bisa banyak teman, mengenal alam lebih dekat dan lebih sehat”. Atau bisa dengan jawaban “Saya mendaki gunung karena saya menghargai hidup yang diberikan Tuhan kepada saya. Daripada saya harus terus-terusan menghabiskan umur di kota menggeluti pekerjaan tanpa henti. Bukankah ada baiknya saya mendatangi tempat-tempat yang cukup menantang untuk saya kunjungi? Dengan begitu saya bisa lebih menghargai anugerah hidup yang telah diberikan Tuhan kepada Saya. Kaki untuk menjelajah dan mendaki, tangan untuk menolong dan menulis pengalaman, mata untuk melihat keagungan ciptaan Tuhan, telinga untuk mendengar suara alam yang sangat indah. Semua itu untuk mendekatkan saya pada Tuhan”.Dijamin jawaban saudara akan mendapat respon yang positif. Namun, kalau masih belum ada respon positif juga, mungkin ada baiknya saudara mengajak orang yang bertanya itu untuk naik gunung juga. Bukankah “jika tak kenal maka tak sayang” Demikian pula dengan mendaki gunung, sekali mencoba pasti ketagihan, kalau tidak ketagihan....ya pasti kapok untuk bertanya lagi.
Jadi kegiatan mendaki gunung, harus memiliki tujuan yang jelas agar kegiatan yang kita lakukan tidak sia-sia.

Ada beberapa tingkatan “Tujuan mendaki gunung”, yakni sebagai berikut:
Tujuan mendaki gunung yang pertama, bisa dibilang tujuan yang paling rendah adalah ”Untuk hobi atau kesenangan pribadi semata”. Para pendaki gunung yang bertujuan untuk hobi ini, biasanya mendaki gunung untuk sekedar rekreasi, mengisi waktu luang atau melepas kepenatan. Orang-orang ini mendaki gunung untuk menikmati pemandangan alam, menghirup udara segar atau berkemah bersama teman-teman. Puncak gunung bukanlah harga mati, karena yang mereka kejar hanyalah kesenangan semata. Jadi meskipun mereka mendaki gunung tidak sampai ke puncak, sebenarnya mereka sudah cukup puas.

Tingkat kedua, tujuan mendaki gunung “Untuk prestise atau mendapatkan pengakuan”. Para pendaki yang mendaki gunung untuk tujuan seperti ini, yang mereka kejar hanya puncak. Jadi puncak gunung adalah harga mati bagi mereka. Bagaimanapun caranya, puncak harus bisa diraih, karena mereka beranggapan semakin banyak puncak gunung yang dikoleksi,maka prestise akan meningkat pula dan Ia-pun akan mendapat pengakuan dari orang lain (meskipun kenyataannya justru dianggap sombong dan kurang begitu dianggap oleh kebanyakan pendaki).
Tingkatan yang lebih tinggi yakni “ Untuk pengalaman dan Ilmu pengetahuan”. Orang-orang yang bertujuan seperti ini tidak hanya “pendaki gunung atau petualang saja”, tetapi bisa juga para ahli yang mendaki gunung untuk keperluan penelitian. Contoh: Seorang ahli “Vulkanologi” harus mendaki gunung untuk meneliti keadaan kawah sebuah gunung, Seorang pendaki yang mendaki gunung untuk keperluan membuat peta, seorang ahli yang mendaki gunung untuk keperluan meneliti jenis-jenis hewan dan tumbuhan di sebuah gunung, seorang petualang yang mendaki gunung untuk membuka jalur pendakian atau mencari lokasi sumber air dsb. Orang-orang yang memiliki tujuan ini, biasanya mengabaikan “Prestise”atau bahkan “nyawanya” sekalipun karena tujuan utama mereka adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam benak mereka. Demi ilmu pengetahuan dan pengalaman baru sehingga bermanfaat untuk dirinya dan juga orang lain.

Tingkatan selanjutnya yang lebih tinggi adalah “ Untuk pelestarian alam atau misi penyelamatan”. Biasanya banyak dari kalangan para “Pecinta alam” (Pecinta alam yang sebenarnya),Tim SAR atau polisi hutan. Mereka mendaki gunung untuk kelestarian alam, misalnya reboisasi di lereng gunung, ekspedisi bersih-bersih gunung dari coretan-coretan dan sampah gunung, perbaikan jalur pendakian untuk mencegah adanya jalur-jalur bayangan yang akan menyesatkan pendaki, Tim SAR yang mendaki gunung untuk mencari pendaki yang hilang, para polisi hutan yang mendaki gunung untuk menjaga hutan dari bahaya kebakaran atau memburu para penebang dan pemburu liar.

Tingkatan berikutnya yang lebih tinggi lagi adalah “Untuk mengasah pribadi dan menemukan hakekat diri”. Orang-orang yang memiliki tujuan seperti inilah orang yang mampu berguru pada alam. Mereka mendaki gunung untuk menyendiri dan merenung guna mendapatkan kedamaian dan pencerahan dari Tuhan dengan mengakrabi alam. Karena dengan begitu mereka akan tahu bahwa dirinya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan alam apalagi Tuhan. Tujuan mendaki gunung seperti ini tidak hanya bisa dilakukan oleh para pertapa saja, yang biasanya mendaki gunung dan tinggal disana dalam waktu yang cukup lama sampai mendapat ilmu. Namun, sebenarnya para pendaki gunung biasa juga bisa memiliki tujuan seperti ini, kebanyakan para pendaki yang sudah cukup berpengalaman biasanya mendaki gunung untuk tujuan seperti ini. Mereka mendaki gunung bukan lagi untuk hobi atau mengejar prestise, tetapi mereka mendaki karena “panggilan jiwa” yang harus terus dipenuhi. Mereka seolah tak bisa hidup jauh dari gunung. Meskipun telah lama tidak mendaki gunung, namun keinginan untuk mendaki itu pasti akan tetap ada karena sudah menjadi kebutuhan. Mereka meyakini bahwa ada banyak pelajaran yang bisa diperoleh dari mendaki gunung. Dengan mengakrabi alam, maka dengan sendirinya alam akan mengajarkan banyak ilmu kepada kita.

Jadi, jelas bahwa gunung adalah media untuk menempa pribadi manusia sebelum akhirnya mendapatkan ilmu yang berasal dari Tuhan. Ilmu yang tak terbatas dan tidak bisa didapatkan hanya dari sekolah atau kuliah saja.

Ilmu apakah itu?

Ilmu tentang “hakikat diri dan Pemahaman akan arti kehidupan”.
Bagaimana cara memahaminya?

Salah satu caranya adalah dengan “Banyak mendaki gunung”.

Demikian tadi beberapa tingkatan dalam mendaki gunung jika dilihat dari tujuannya. Namun diantara tingkatan tersebut sebenarnya masih ada tingkatan yang jauh lebih rendah lagi, yaitu mendaki gunung untuk “Eksploitasi hutan atau merusak hutan”. Namun tidak saya masukkan dalam tingkatan tersebut karena saya beranggapan itu seharusnya bukan merupakan tujuan mendaki gunung bagi para pendaki gunung.

Jadi pastikan terlebih dahulu tujuan kita sebenarnya sebelum kita mendaki gunung, sehingga kegiatan yang kita lakukan nanti tidak akan sia-sia, dan jika nanti seandainya kita terpaksa harus mati di gunung sekalipunpun, maka kita tidak akan mati konyol karena minimal kita sudah memiliki tujuan yang jelas.
Tak ada pendaki yang mati di gunung, mati sia-sia. Mereka hanya manusia biasa yang telah berani menghargai hidup dan memenuhi takdirnya saja.

‘Kematian’ ketika mendaki gunung adalah resiko yang harus dihadapi dengan keberanian.

MENDAKI GUNUNG DAPAT MENGASAH PRIBADI

Seperti halnya melukis , membuat lagu atau mengarang, awalnya adalah sekedar untuk hobi atau kesenangan semata. Namun apabila ditekuni dengan sungguh-sungguh sampai mendarah daging maka kegiatan hobi tersebut tak ubahnya seperti kebutuhan makan dan minum saja. Hingga tak disadari bahwa kegiatan yang ditekuni karena kesenangan itu kelak mampu mengubah pribadi seseorang.

Ya..........semua berawal dari sekedar hobi yang terus-menerus ditekuni hingga mampu mengubah pribadi seseorang, dari pribadi yang kasar menjadi pribadi yang lebih lembut dan sabar.

Sebagaimana kata Ki Hajar Dewantara, bahwa Seni itu sebagai penghalus budi pekerti. Dan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia seni termasuk seni mendaki gunung, artinya mendaki gunung dengan menggunakan akal dan perasaan, dasarnya adalah kesenangan.
Mendaki gunung adalah kegiatan yang didasari karena kesenangan, dan apabila terus menerus ditekuni maka tidak lagi untuk kesenangan melainkan sudah menjadi kebutuhan.
Jika kebutuhan itu terus dipenuhi maka dengan sendirinya akan merubah sikap dan perilakunya. Seharusnya perubahan sikap dan perilaku tersebut adalah lebih baik bukan menjadi lebih buruk.

Melalui kegiatan mendaki gunung, kita akan mampu mengenali pribadi teman yang sebenarnya. Sebab, ketika kita mendaki gunung, beberapa karakter pribadi orang yang sebenarnya akan nampak karena situasi yang sedang dihadapi. Misalnya: Kelelahan, kedinginan, kehabisan bekal makanan atau air, terjebak badai, tersesat, mengalami musibah kecelakaan, ada teman yang sakit, atau bahkan karena gagal sampai ke puncak. Ada yang jujur/tidak jujur, ada yang setia kawan/ tidak setia kawan, ada yang egois/tidak egois, ada yang teliti/ceroboh, ada yang sombong/rendah diri, dll. Karena itu dengan kegiatan mendaki gunung, kita akan bisa lebih mengenal karakter pribadi seseorang yang sebenarnya.

Kita juga bisa mengamati bahwa ada juga para pendaki yang mendaki gunung sambil membawa narkoba (cimeng). Sungguh sangat disayangkan jika kegiatan yang seharusnya lebih positif, justru akan tercoreng dengan tingkah laku para pendaki yang seperti itu.
Melalui kegiatan mendaki gunung, kita akan mampu mengasah pribadi. Dari pribadi yang sombong menjadi pribadi yang lebih rendah diri, dari pribadi perusak menjadi pribadi yang lebih menghargai alam. Siapa yang mengasahnya?....jawabannya adalah Tuhan melalui tangan sang alam.

Dengan mendaki gunung, paling tidak kita akan mampu mengetahui bahwa kita hanyalah seperti seekor semut yang merayap lamban di tengah luasnya hutan. Kita hanya mahluk biasa yang tak berdaya jika berada di alam bebas, tidur di tanah, minum air mentah, berlindung dari dinginnya udara, tak berdaya di tengah kabut atau tak berkutik jika tersesat dan kehabisan bekal. Itulah kita, manusia yang sebenarnya, tak berdaya di tengah alam, apalagi untuk melawannya. Lalu apalagi yang kita sombongkan, melawan alam saja tidak berdaya apalagi melawan kekuasaan sang pencipta alam. Demikianlah alam akan mengajarkan kepada kita ilmu tentang “ rendah diri dan tidak sombong”.

Jika ada seorang pendaki merasa sombong karena Ia telah merasa menaklukkan sebuah gunung atau ratusan gunung dengan mendaki sampai puncaknya, sesungguhnya Ia mendaki hanya mendapatkan rasa letih saja tidak lebih. Gunung adalah salah satu guru yang mengajarkan banyak ilmu kepada manusia, bagaimana bisa guru akan mengajarkan ilmunya jika muridnya merasa sombong terlebih dahulu?

Mendaki gunung hanya untuk kesenangan atau hobi itu tidak salah, tetapi alangkah baiknya jika kita mendaki gunung sekaligus belajar pada alam, yakni belajar tentang segala ilmu yang mungkin dapat diajarkan alam kepada kita. Kemudian, apabila kita sudah memiliki ilmunya maka kita bisa mengajarkannya kepada orang lain yang belum tahu. Dengan demikian, kegiatan mendaki gunung kelak akan menjadi sebuah kegiatan yang jauh lebih bermartabat dan lebih dihargai oleh orang lain.

GUNUNG ADALAH SUMBER ILMU

Kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa ada banyak sekali ilmu yang sesungguhnya bisa kita petik dari kegiatan mendaki gunung. Ilmu apa sajakah itu?
Berikut ini hanyalah sebagian dari beberapa kelompok ilmu yang bisa diajarkan gunung kepada kita:

1. Ilmu pengetahuan alam

Tak dapat dipungkiri, bahwa gunung adalah sumber ilmu pengetahuan. Para peneliti yang gemar meneliti tentang gunung, akhirnya dapat menemukan dan merumuskan beberapa ilmu-ilmu baru yang dapat berguna bagi manusia. Seperti contohnya: Ilmu volcanologi, botani, zoologi, topografi, ilmu batuan, ilmu lapisan tanah, ilmu obat-obatan, arkeologi dsb yang terlalu banyak untuk disebutkan.
Cabang-cabang ilmu pengetahuan tersebut, tentu saja tak begitu saja muncul. Melainkan melalui proses pencarian dan penemuan secara berkala oleh orang-orang yang memang senang sekali menjelajah gunung-gunung, dan kegiatan pencarian itulah yang sebenarnya disebut dengan ekspedisi. Jadi ekspedisi bukan sekedar mendaki puncak-puncak gunung lalu pulang kembali tanpa menghasilkan sesuatu. Jika ada kegiatan ekspedisi yang demikian, bisa disebut hanya sekedar kegiatan melakukan hobi mendaki gunung. Bukan melakukan ekspedisi.

2. Ilmu sosial

Kegiatan mendaki gunung juga akan berdampak pada bertambahnya wawasan tentang ilmu sosial kita. Sebab, setiap kita mendaki gunung maka kita akan selalu bertemu dan berhubungan dengan orang lain, baik dengan teman sendiri, penduduk desa atau dengan para pendaki yang mungkin kita jumpai. Kita akan belajar bagaimana bergaul, menghormati dan bersikap baik dengan orang lain, karena jika kita tidak mampu beradaptasi dengan baik, maka kita akan merasakan kerugian yang bisa langsung kita rasakan sendiri.

Dengan mendaki gunung, mengajarkan kita untuk bersosialisasi, bekerjasama dan menjalin tali persahabatan. Oleh karena itu, setelah melakukan kegiatan mendaki gunung, biasanya kita akan merasakan tali persahabatan terjalin lebih erat daripada sebelumnya. Sebab, kita sudah melalui hidup bersama mengatasi berbagai kesulitan, tidur bersama, makan bersama, susah bersama, dan senang bersama selama beberapa hari di alam bebas.

Selain itu, kita juga akan banyak belajar tentang masyarakat desa. Sebab ketika kita melalui desa atau dusun terpencil tempat kita melakukan titik awal pendakian, maka secara tak langsung kita akan belajar mengenal tentang kebudayaan masyarakat baru yang kita temui disana. Baik bahasanya, agamanya, sistem sosialnya, mata pencahariannya, ilmu pengetahuannya, keseniannya, atau adat istiadatnya. Meskipun mungkin kita hanya singgah beberapa hari saja di desa mereka, tapi sebenarnya secara tak langsung kita telah mempelajari sedikit tentang masyarakat desa yang kita singgahi. Dengan demikian, jika kita peka terhadap lingkungan masyarakat yang kita temui, maka kita akan mudah bergaul dengan mereka dan begitu juga dengan mereka akan lebih menghormati kedatangan kita.

Oleh karena itu, sangat disayangkan jika kita hanya sekedar melakukan pendakian gunung tanpa memperhatikan lingkungan masyarakat desa yang kita temui. Kita akan kehilangan beberapa ilmu yang sesungguhnya dapat bermanfaat baik bagi kita sendiri ataupun bagi orang lain.
Lebih baik lagi jika kita akan mendaki gunung, sebelumnya juga mempelajari tentang karakter masyarakat di desa tempat kita melakukan titik awal pendakian. Meski terlihat sepele, tetapi sesungguhnya hal ini sangat penting untuk diri kita sendiri. Karena itu jadilah pecinta alam yang gemar menulis rencana dan catatan perjalanan.

3. Ilmu Filsafat

Mendaki gunung akan mendekatkan kita kepada alam, hal ini tentu bukan rahasia lagi. Sama halnya dengan seorang pelaut yang mengatakan bahwa ‘dengan mengarungi lautan kita akan mengenal diri kita dan bisa lebih menghormati alam’. Sebenarnya hampir sama antara pelaut, pendaki gunung, penerbang atau bahkan astronot. Semakin kita menjelajahi alam maka kita justru akan merasa dekat dengan alam, baik sebagai sahabat atau musuh sekalipun. Jika kita merasakan kedekatan dengan alam dan mengenal alam dengan baik, maka dengan sendirinya kita akan tahu siapakah sebenarnya kita ini.
Jika kita sedang berada di tempat yang aman dan nyaman, berada di rumah, gedung atau hotel dengan dikelilingi orang-orang terdekat kita. Mungkin kita akan merasa sebagai manusia yang memang lebih unggul dari makhluk lainnya. Tetapi jika sedang berada di tengah hutan yang gelap, dikelilingi kabut dan udara yang menusuk tulang. Kita akan tahu bahwa kita hanyalah makhluk yang paling lemah. Kita kalah jauh dengan tumbuhan dan hewan yang mampu bertahan hidup di tengah hutan tanpa membawa bekal makanan atau tenda untuk berlindung dari hujan dan dinginnya udara.

Dengan mendaki gunung, kita akan terbiasa merasakan betapa lemahnya diri kita dan betapa dahsyatnya kekuatan sang alam. Apalagi penciptanya?
Apabila kita sampai di puncak-puncak gunung, kita akan melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Di atas kita, ada langit yang seolah begitu dekat dan luas. Di bawah kita, terhampar dataran yang dihuni oleh berjuta-juta manusia dengan berbagai kesibukannya. Dan ternyata kita hanyalah satu diantara berjuta-juta makhluk yang tinggal di bawah sana. Semua tampak seperti debu yang bertebaran di padang yang luas. Apa lagi yang bisa kita sombongkan?

Demikianlah, dengan mendaki gunung kita akan merasakan kedekatan dengan alam yang pada akhirnya akan mengantarkan kita kepada kedekatan diri kita dengan Tuhan. Jadi dengan mendaki gunung, kita akan belajar ilmu agama yang jauh lebih tinggi, yakni ilmu hakikat diri.
Hal-hal demikian ini, sesungguhnya sudah dibuktikan oleh para nabi dan kaum petapa yang gemar sekali mendaki gunung untuk sekedar bertapa dan menyendiri guna mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dengan menyendiri di gunung-gunung selama beberapa hari bahkan sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun, mereka merasakan kedekatan dengan Tuhannya. Sampai pada akhirnya, mereka dikaruniai beberapa ilmu yang tak semua orang bisa mendapatkannya.
Ilmu hakikat.
“Jika kita mampu mengenali diri sendiri, maka kita akan mengenali Tuhan” (Petikan kalimat dari para kaum hukamah/sufi)

BELAJAR DARI FILOSOFI MENDAKI GUNUNG

Gunung adalah bayang-bayang kehidupan
Puncaknya adalah cita-cita
Lerengnya adalah usaha
Lembahnya adalah iman dan pengetahuan
Hutannya adalah anugerah
Dan kabutnya adalah cobaan
Semakin runcing sebuah gunung
Semakin sulit pula menggapai puncaknya,
tapi butuh waktu yang singkat
SEBALIKNYA
Semakin landai sebuah gunung
Semakin mudah pula menggapai puncaknya,
tapi butuh waktu yang lebih lama
Tapi
Puncak bukanlah tujuan akhir,
karena jalan menurun, telah siap untuk ditapaki
semakin sulit dan menyesatkan
menuju lembah tempat kembali

PECINTA ALAM DAN KEKERASAN

Selama ini masyarakat beranggapan bahwa organisasi pecinta alam sarat dengan kekerasan fisik dan mental, sehingga muncul citra pada masyarakat bahwa untuk menjadi anggota organisasi pecinta alam harus mengikuti pendidikan dasar yang sangat berat dan penuh dengan resiko. Memang pada kenyataannya, pendidikan dasar bagi para anggota baru organisasi pencinta alam sangat akrab dengan kekerasan fisik dan mental, bahkan ada yang sampai mengarah kepada tindakan penganiayaan. Kekerasan fisik dan mental itu bermacam-macam bentuknya, mulai dari push up tanpa batas, memaki, merendam di sungai yang dingin, minum air bekas berkumur, menempeleng sampai dengan memukul dan menendang.

Kekerasan fisik dan mental sudah dianggap biasa dan mungkin juga wajib hukumnya bagi siapa saja yang ingin menjadi anggota organisasi pecinta alam. Pertanyaannya, apakah tujuan yang ingin dicapai dari tindakan kekerasan itu? Tak jelas. Apakah kekerasan itu memang diperlukan untuk menguji fisik dan mental, karena kegiatan alam bebas membutuhkan fisik dan mental yang prima, atau hanya sebuah ajang balas dendam secara turun temurun dari para senior kepada juniornya.

Padahal kegiatan pendidikan dasar bagi para anggota baru organisasi pecinta alam itu, bukan hanya untuk membentuk mental dan fisik semata. Tapi juga latihan untuk mengajarkan dan menerapkan beberapa ilmu seperti navigai darat, bivak, SAR, survival dll. Nah…….bagaimana mungkin mereka bisa menyerap ilmu jika dalam kondisi fisik dan mental yang letih dan tertekan?

Jika memang ingin membentuk fisik dan mental yang prima. Apakah harus selalu dengan cara kekerasan? Seharusnya cukup dengan latihan fisik secara rutin dan penerapan disiplin yang tinggi. Sehingga tindakan kekerasan fisik dan mental yang tidak rasional dan tidak berguna itu bisa dihindari.
Dengan begitu, citra organisasi pecinta alam akan jauh lebih baik dan bermartabat di mata masyarakat dan kegiatan pecinta alam akan menjadi kegiatan alam bebas yang lebih bermanfaat dan menyenangkan untuk diikuti.

Dalam pendidikan dasar, penamparan boleh saja dilakukan hanya untuk menyadarkan siswa atau peserta pendidikan yang pingsan atau mengalami kepanikan. Kegiatan di alam bebas itu keras, jangan ditambah lagi oleh kekerasan fisik. Pendidikan itu dimaksudkan untuk membangun human skill. Kekerasan bisa jadi bukannya membangun, melainkan justru menjatuhkan human skill peserta. Kalau sudah down, pendidikan akan percuma karena tidak menghasilkan anggota yang sesuai dengan harapan.

Sebenarnya, kekerasan dalam pendidikan dasar bukan yang berkaitan dengan kontak fisik dan sebagainya, yang bisa saja menjurus pada tindak pidana penganiayaan atau bahkan sampai pembunuhan

Sabtu, April 26, 2014

DIPLOMACY AND SECURITY ISSUES AFTER 9/11 ATTACK.

DIPLOMACY AND SECURITY ISSUES AFTER 9/11 ATTACK.
Abstract
Diplomacy is the main tool and instrument of foreign policy through peaceful means. It involved negotiations, bargains, reciprocal interchanges and economical or military trade between two countries or more. Diplomacy has long history since the dawn of civilization, early history ever known. As the field of diplomacy increased and not limited to aristocrats anymore, people from different background can be part of it. On September 11th, few years ago, a massive attack on the heart of U.S's economic centre triggered many changes in international activity. Certain policies of some countries changed and people have new vision of what lies ahead in term of terror. Diplomacy is peace-oriented interaction, while terrorism is obviously violent action. So how can terrorism be related to diplomacy?. Diplomacy is a tool, it can be used in both good and bad purpose, so it has significant role in conducting as well as counter-attacking terrorism.

Diplomatic approach in resolving terrorism issues
Diplomacy represents the most powerful tool—one possessed by every country—in the fight against modern forms of terrorism that have expanded beyond state boundaries.
As a global problem, terrorism has exposed the entire planet to the threats posed by operations carried out by terrorist groups and organizations. An adequate and skillfully implemented diplomacy is the central factor that can consolidate all anti-terrorist measures in a compact and related whole. Political and diplomatic antiterrorist measures can contribute to the resolution of intractable conflicts, and should attempt to do so through the means of both public dialogue and so-called secret diplomacy.
These methods prevent terrorist organizations from participating in mass movements that are seen as effecting both political and social change. Fostering change without resorting to violent means implies that a familiar characteristic of traditional movements is strengthened, while the impact of terrorist organizations is reduced.
Partial or conditional amnesty can be granted to the members of some terrorist groups that are seen in their home countries as being part of liberation movements, further delegitimizing more violent terrorist groups, and diplomatic pressure can be exerted on countries and all other supporters of terrorist organizations (e.g., withdrawal of diplomatic staff from countries that provide financial or moral support to terrorism, termination of diplomatic relations with those countries, etc.). Diplomacy therefore can play a major role in anti-terrorist activities in general, whether in agreements, negotiations, or even mediation processes aimed at funding peaceful anti-terrorist solutions. Those individuals in political and diplomatic positions are some of the highest-ranking figures in state and governmental bodies and have decisive role in the governing process.

Negotiation and Terrorism.
Terrorism has also opened a new chapter in both internal and international negotiations. Governments are often forced to negotiate with terrorist groups, especially in cases of hostage taking. They negotiate with terrorists with the aim of making them relinquish their objectives and turn themselves in, or—if the terrorists are under government control or in prison—to assist in detecting further intelligence about the terrorist network and its intentions. This is a very specific type of negotiation: on the one side there is the state, and on the other individuals or organizations that are not formally recognized by the state, but that obtain the status of a negotiating partner through force or the threat of force. Governments often offer terrorists a combination of safe surrender, amnesty, or reduction of sentences for previous criminal offenses, along with benefits and security guarantees for them or their family members. The purpose of these settlements is to reduce the number of terrorists and weaken their network. A side effect may be sowing distrust and suspicion among the terrorists. Having learned from the experience of the first round of government amnesties for terror groups, terrorists have applied counter tactics to render subsequent promises of amnesty ineffective. When terrorists are first captured, the government has a good chance of negotiating with them, offering them milder sentences in exchange for information.
But there are certain problems in the negotiation with terrorism which is based on fundamental thought, ethnicity, or religious background. Terrorists who belong to fundamentalist ideological, religious, or racist circles are generally those that are least prepared to cooperate. The very existence of suicide terrorist attacks demonstrates that no victim is off limits for members of such ideologically committed groups. Being fully indoctrinated and convinced of the justifiability of even the most brutal action, they will almost never decide to negotiate with the authorities when they are caught, because they believe that it would be the betrayal of a great goal. Neither the promised benefits resulting from cooperation nor the threat of the harshest possible sentence if they refuse to do so have any impact on them. This is why, in cases of these kinds of terrorism—whether domestic, regional, or international—it is most difficult to apply the “carrot-and-stick” method ( give and hit).

US’ policy after 9/11 and Diplomacy as the weapon of counter terrorism
After the terrorist attacks of 11 September 2001, the U.S. developed a new national security strategy in order to _ ght global terrorism. U.S. military power became the key weapon in this fight, and it was also used to prevent potential threats.

Another weapon in the fight against terrorism that has often been neglected, however,
is public diplomacy, which includes diplomacy and the use of information in order to influence foreign public opinion about the United States’ foreign policy goals. The use of information and diplomacy, which are often referred to as forms of “soft power,” may be considered part of the information war, which is conducted together with the “hard power” conflict that is carried out using military and economic means. There are still no clear results regarding the success of the use of U.S. military power in Afghanistan and Iraq, but it has become clear that the United States is losing the war of ideas, and that the international public is starting to express doubts about the war on terrorism. For example, the pictures and videos that became public in Spring 2004 that showed the torture of Iraqi prisoners by U.S. troops in the Abu Ghraib prison in Baghdad had a severe negative impact on the United States’ standing in Iraq and on the opinions of the foreign public when it comes to the war on terrorism. Also, as a result of these incidents, the U.S. damaged its credibility with Muslim publics across the Middle East, and Islamist extremists used these incidents of torture as an excuse to justify the murders of civilians in the United States. Hans N. Tuch, a retired foreign affairs officer of the U.S. State Department, defines public diplomacy as the “government process of communicating directly with foreign publics in an effort to bring about understanding of our current policies and national goals, our ideas and ideals, as well as for our institutions and culture.” Philip Seib, a professor of journalism and public diplomacy and the head of the Public Diplomacy Center at the University of Southern California, defines public diplomacy as “a government (and some non-state actors) reaching out to foreign publics, rather than confining itself tothe government-to-government communication of traditional diplomacy.”

Conclusion
Diplomacy is the most powerful tool at the disposal of every country in the fight against modern terrorism, one that goes beyond state boundaries and is largely unhindered if not encouraged by globalization. Terrorist groups and organizations thus build their networks to span the entire world. Diplomacy, skillfully guided, represents the connective tissue that can incorporate all anti-terrorism measures into one compact and well-connected whole. Without efficient diplomacy, anti-terrorism measures and activities are fragmented and unconnected, and therefore also inefficient. In terms of the fight against modern terrorism, diplomacy does not relate only to professional diplomats working with their counterparts in governments abroad, but also to all officials performing other tasks specialized for and related to the fight against terrorism.
Diplomacy is a weapon in the fight against the new form of international terrorism that knows no boundaries. Terrorist groups are continuously expanding their scope of activities. The fight against a terrorist network such as the one including Al Qaeda requires the cooperation of numerous countries, since the network is active around the world. Efficient anti-terrorist diplomacy consolidates all these activities into a coherent whole. Anti-terrorist diplomacy is not only the duty of professional diplomats in embassies and ministries of foreign affairs. Persons in charge of other specialized antiterrorist duties have to cooperate closely with their colleagues abroad. Regulatory agencies in charge of the safety of passenger air transport, for example, must perform a completely diplomatic function and ensure the necessary coordination in cases of overlapping of domestic and international security systems. Customs officers and immigration officers have the same task. The largest part of such specialized cooperation is implemented bilaterally, but multilateral diplomacy may also make a significant contribution. Multilateral diplomacy, which also includes UN resolutions and dozens of international conventions on terrorism, also improves international regulations against terrorism. Some conventions, such as the convention on airplane hijacking, represent the basis for practical cooperation in cases of overlapping national jurisdictions.
There are clearly things that diplomacy is simply not capable of accomplishing in the fight against terrorism. Terrorists do not change their behavior as a result of a UN convention or resolution. But diplomacy supports all other tools that are used in the fight against terrorism, no matter whether it deepens the moral basis behind them, or whether it ensures the international legal framework for their use. Financial oversight is an important tool in monitoring terrorist activities. By cutting off terrorists’ access to financial resources, their activities can be reduced or even blocked, because the lack of resources makes it difficult for terrorists to plan operations. When we confront the challenge of stopping terrorist activities, we are faced with two great problems. One is that terrorism does not require significant financial assets; the other problem lies in the fact that it is extremely difficult to trace terrorist funds. Both of these represent an obstacle for all forms of the fight against modern terrorism. Diplomacy can to nothing to resolve the first, but it could have a significant impact on how we address the second challenge.

Reference :
1.    Haris Presto, The Role of Diplomacy in The Fight Against Terrorism, The Quarterly Journal, 2010.
2.    United States Department of State Bureau of Diplomatic Security, Diplomatic Security Fights Terrorism, 2013.
3.    Johan Eriksson & Giampero G, International Relations and Security in The Digital Age, Routledge Publishing, New York, 2007.
4.    Negotiating with terrorists, -, -

Selasa, Maret 18, 2014

RINTANGAN BIN HALANGAN MENDAKI

 Mendaki gunung itu nggak semudah ngucapin ‘gud nait’ ke gebetan sebelum tidur. Ada banyak rintangan bin tantangan yang harus kita lalui. Jangankan pas pendakian, sebelum mulai berangkat aja banyak banget hal yang mungkin menghambat kita untuk ndaki gunung. Temen-teman yang Agung alias Anak Gunung pasti pernah satu dua kali mengalami hambatan-hambatan berikut ini.


KEPANIKAN ORANG TUA.
Coba bayangkan situasi ini: kamu udah super siap mendaki gunung, udah beli tas carrier baru, udah beli peralatan-peralatan, udah nyiapin waktu batalin semua rencana, dan udah nabung. Tapi, nggak lama sebelum waktu berangkat, orang tua kamu nonton berita tentang pendaki yang hilang di gunung. Sejurus kemudian, mama-papa kamu melarang kamu naik gunung atas nama keselamatanmu. Yah, namanya juga orang tua, nggak mau anaknya kenapa-kenapa.

Tapi di luar itu, ada beberapa alasan lagi kenapa orang tua melarang kamu ndaki gunung. Misalnya, nilai kamu di kampus atau sekolah yang anjlok. Makanya sebelum ndaki gunung pastiin dulu nilai kamu aman dan bikin ortu tentram.

JADWAL KULIAH NGGAK BERSAHABAT.
Adalah menyebalkan ketika tiba-tiba dosen mengumumkan waktu ujian jatuh di jadwal pendakian kamu dan teman-teman. Sialnya adalah kalau kamu nggak ikut ujian itu kamu mesti ngulang mata kuliah semester depan. Dan sialnya lagi, cuma kamu seorang yang harus ujian, sementara temen-temen kamu nyantai-nyantai aja. Itu artinya, kamu terpaksa ditinggal rombongan. Selamat!

DOMPET KERING.
Se-backpacking-nya kita, tetep aja butuh duit untuk melakukan perjalanan. Untuk ongkos naik kereta, beli makanan untuk bekel, beli atau sewa peralatan, dan lain-lain. Keadaan uang paceklik tentu nggak memungkingkan kamu untuk ikutan ndaki gunung.

CUACA LABIL.
Ndaki gunung dikala cuaca sedang buruk sama dengan Mbak Haya alias bahaya. Nah, sialnya, cuaca di planet kita ini emang sering banget labil. Seminggu cerah, seminggu badai. Jadi pandai-pandailah kamu meramal cuaca. Termasuk cuacana hati sang gebetan.

PACAR REMPONG. (nggak berlaku bagi yang jomblo kaya saya :D)
Kalau kamu anak gunung, pandai-pandailah mencari pacar. Jangan pacaran sama orang yang cemburuan, panikan, dan kelewat bersih. Loh loh loh, kok bersih, maksudnya apah? Ya itu. Biasanya kan anak gunung itu selalu menganggap kehidupan sehari-hari sama dengan hidup di gunung. Nggak mandi nggak apa-apa.

Selain itu, kalau pacar kita rempong bisa jadi dia nggak ngebolehin kita karena alasan-alasan yang nyebelin. Contohnya: cemburu sama temen seperjalanan, takut kamu kenapa-kenapa, dan manja nggak mau ditinggal. Ribet.


NGGAK ADA TEMEN
Percuma kalau kamu punya uang, punya waktu tapi nggak punya temen untuk ndaki gunung. Nggak mungkin kan kamu ndaki gunung sendiri? Kecuali kamu emang rumahnya di gunung. Mau nggak mau tiap pulang, meski sendiri, ya naik gunung.


ADA TEMEN TAPI NGGAK DIAJAK.
Makanya, jadilah teman yang asik, biar kalo ada acara-acara seru tetep diajak.

Jadi, begitulah yang biasanya bikin acara ndaki gunung kamu nggak jadi. Kalau hambatan ndaki gunung kalian apa saja?

Note;
Hambatan yang ada dalam tulisan ini adalah hambatan versi pelajar/mahasiswa. Sudah pasti berbeda jika mas/mbak bro sudah bekerja

Jumat, Maret 07, 2014

ALASAN KENAPA TRAVELLING BIKIN KAMU LEBIH KEREN


Traveling ternyata dapat membuat seseorang menjadi pribadi yang lebih baik, atau jauh lebih keren dari sebelumnya. Kenapa bisa? Ini diabeberapa alasan yang dikutip dari berbagai narasumber yang teruji jalan jalan nya #eh



1. MUDAH BERSOSIALISASI
Bagi sebagian orang, berbicara atau bertemu dengan orang baru adalah hal.yang menakutkan. Tetapi dengan Traveling, seseorang yang pemalu dapat berubah menjadi seorang yang terbuka dan dapat memulai percakapan dengan orang asing. Karna dengan traveling, intensitas kita dapat bertemu dengan orang baru sangatlah besar dan mau tak mau efeknya kita mendapat banyak teman baru.



2. MENINGKATKAN RASA PERCAYA DIRI
Secara tidak langsung, traveling akan menambah pengetahuan Anda, setidaknya pengetahuan geografis. Jika Anda banyak mendatangi destinasi sejarah dan budaya, pengetahuan tentang ilmu itu pun jadi makin bertambah. Masih banyak lagi pengetahuan yang bisa didapat, tanpa harus Anda hafalkan hanya dengan traveling.

Hal itulah yang dapat meningkatkan rasa kepercayaan diri, karna banyaknya ilmu pengetahuan yang di dapat. Dan orang yang kaya pengetahuan biasanya lebih mudah disukai banyak orang.

 

3. MUDAH BERADAPTASI

Kegiatan Traveling, memungkinkan kita untuk bertemu dengan orang baru sangat sering, hampir setiap hari malah. Orang-orang baru dengan berbagai macam karakter yang dimiliki. Hal ini juga yang mempengaruhi kita menjadi cepat beradaptasi.

Cara pandang kita juga akan cepat berkembang karna bertemu dengan orang-orang asing tadi. Bahkan kita dapat menilai sifat seseorang hanya dengan melihatnya saja.



4. LEBIH BERJIWA PETUALANG
Memberanikan diri traveling ke daerah dengan bahasa berbeda, atau menjelajah kota hanya dengan bermodal peta akan mengasah jiwa petualang Anda. Jadi, petualangan tidak hanya bisa didapat dengan kegiatan yang berhubungan dengan adrenalin saja, namun juga dengan tantangan.

Banyaknya pengalaman seperti ini akan membentuk jiwa Anda jadi lebih petualang. Anda dengan mudah mencoba hal baru tanpa terlalu banyak berpikiran buruk. Di mana, kebanyakan orang lain malas mencoba hal baru
karena akan keluar dari zona nyaman mereka.



5. LEBIH SEXY
Traveling akan membuat jiwa lebih bahagia dan bebas. Udara yang lebih bersih dari kota membuat kulit Anda lebih sehat. Aktivitas yang padat seperti trekking, naik sepeda, atau keliling kota dengan jalan kaki membuat tubuh Anda lebih sehat dan seksi dengan cara yang paling asyik. Kulit yang terkena matahari lebih enak dipandang daripada kulit yang pucat. Putih memang cantik, namun sawo matang lebih eksotis, lebih seksi.



6. TIDAK MATREALISTIS
Selama traveling, Anda akan menyadari betapa sederhananya kebutuhan Anda. Sebuah benda bisa digunakan untuk beberapa hal, tidak semua benda harus dibeli dan akan dibawa ke mana-mana Inilah yang membuat Anda lebih sederhana dan tidak materialistis. Karena Anda sadar, hidup tidak selamanya mengumpulkan harta. Melainkan bagaimana caranya berbahagia dengan apa yang ada.



7. LEBIH BAHAGIA
Tak ada yang lebih menyenangkan dari berada di dekat orang yang bahagia. Suasana hati yang baik akan membawa suasana hati sekitarnya ikut positif Nah, traveling secara tidak langsung akan mmembuat Anda lebih bahagia, lebih murah senyum dan lebih ringan tangan dalam membantu orang lain.


8. LEBIH TANGGUH

Ketika kita berada di suatu tempat yang belum pernah kita kunjungi sebelumnya, pasti ada kendala kendala yang akan kita temukan seperti adat, cuaca, makanan, atau bahkan sifat orang orangnya. Situasi ini akan mengasah daya survive kita secara alami, yang akan menjadikan kita lebih tangguh dan tidak manja.


9. BANYAK TEMAN
Travelling dengan gaya backpacker, apalagi yang lebih memilih homestay dengan penduduk lokal daripada memilih hotel berpeluang menghasilkan jaringan pertemanan yang lebih luas. Seperti ketika saya ke Dieng, dapat teman lokal sehingga masuk tempat wisata gratis tanpa tiket, atau ketika saya ke Thailand bertemu dengan orang lokal sehingga bisa ngeguide ke tempat tempat yang anti-mainstream di Bangkok, bahkan ditunjukkan juga tempat makan yang halal. Apa ruginya kan punya teman banyak dari berbagai tempat?


So tunggu apa lagi? mau tambah keren kan?
Happy Traveling.