SALAM RIMBA..........................
Untuk orang-orang yang menghargai hidup dengan bertualang mempertaruhkan hidup
“Allah telah menjadikan bumi terhampar luas untukmu, agar kamu dengan bebas meniti jalan-jalan yang terbentang di bumi” (Al Quran Surat Nuh: 19-20)
“....Gunung-gunungpun Ia pancangkan, untuk kesenanganmu..........” (Al Quran Surat An Naazi’aat: 32)
“Kamilah yang menghamparkan bumi, dan kami pula yang menegakkan gunung-gunung, serta menumbuhkan segalanya dengan imbang” (Al Quran Surat Al Hijr: 19)
“Allah menjadikan sebagian ciptaanNya sebagai tempat bernaung untukmu, dan menjadikan gunung-gunung sebagai tempat berlindung....” (Al Quran surat An Nahl: 81)
“Dialah yang membentangkan bumi dan menciptakan gunung-gunung dan sungai-sungai disana. Dia menjadikan semua jenis buah-buahan, masing-masing berpasangan. Dia pulalah yang menutupkan malam pada siang. Sungguh, dalam semua itu terdapat ayat-ayat kebesaranNya bagi kaum yang mau berpikir” (Al Quran Surat ar Ra’ad: 3)
“Katakanlah: Berjalanlah di muka bumi!”
(Petikan dari buku “La Tahzan” karya DR. Aidh Al-Qarni)
Di antara perkara yang dapat melapangkan dada dan meleyapkan awan kesedihan dan kesusahan adalah berjalan menjelajah negeri dan membaca “buku penciptaan” yang terbuka lebar ini untuk menyaksikan bagaiman pena-pena kekuasaan menuliskan tanda-tanda keindahan di atas lembaran-lembaran kehidupan. Betapa tidak, karena anda akan banyak menyaksikan taman, kebun, sawah dan bukit-bukit hijau yang indah mempesona.
Keluarlah dari rumah, lalu perhatikan apa yang ada di sekitar Anda, di depan mata anda, dan di belakang Anda! Dakilah gunung-gunung, jamalah tanah di lembah-lembah, panjatlah batang-batang pepohonan, reguklah air yang jernih, dan ciumkan hidungmu di atas bunga mawar! Pada saat-saat yang demikian itu, Anda akan menemukan jiwa Anda benar-benar merdeka dan bebas seperti burung yang berkicau melafalkan tasbih di angkasa kebahagiaan. Keluarlah dari rumah Anda, tutup kedua mata Anda dengan kain hitam, kemudian berjalanlah di bumi Allah yang sangat luas ini dengan senantiasa berdzikir dan bertasbih.
Marilah sekali-kali kita membaca Al-Qur’an di tepi-tepi sungai, di pinggiran hutan yang rimbun, di antara burung-burung yang sedang berkicau membaca untaian puisi cinta, atau di depan gemericik aliran air sungai yang sedang mengisahkan perjalanannya dari hulu ke hilir. Marilah sesekali kita berjalan menjelajah pelosok negeri untuk mencari ketenangan, bergembira, berpikir, dan sekaligus menghayati ciptaan Allah yang sangat luas ini.
(Dan, mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):”Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau”)
(Al Quran surat Ali Imran: 191)
APA ITU FILSAFAT PENDAKIAN ?
Filasafat dapat diartikan sebagai pemikiran secara mendalam, artinya pemikiran terhadap sesuatu yang didasari dengan pikiran dingin dan tenang. Filsafat adalah ilmu lebih lanjut dari beberapa tahapan ilmu.
Contoh dalam ilmu agama islam, terdapat ilmu Aqidah/Tauhid yang merupakan ilmu dasar dalam agama islam seperti diwajibkan untuk melakukan shalat, kemudian ada tahapan ilmu yang lebih lanjut yakni ilmu fikih yang membahas tentang tatacara melakukan shalat, dan ilmu yang lebih dalam lagi yakni ilmu tasawuf yang membahas tentang hakikat shalat seperti mengapa diwajibkan shalat, untuk apa shalat itu dan apa manfaat shalat itu dsb. Nah..... ilmu tasawuf inilah yang bisa juga dikatakan sebagai filsafatnya ilmu agama islam.
Namun antara kata agama dan filsafat harus tetap dibedakan, karena dua hal ini sepertinya sama namun hakikatnya sebenarnya sangat berbeda. Dalam bahasa inggris, antara filsafat dan agama termasuk bidang yang sama yang disebut Ultimate, yakni bidang yang terpenting yang menjadi soal hidup atau mati seseorang, dan bukan persoalan remeh. Perbedaan antara agama dan filsafat tidak terletak dalam bidangnya, akan tetapi dalam caranya kita menyelidiki bidang itu sendiri.
Perbedaan antara agama dengan filsafat, ialah bahwa agama banyak berhubungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang dingin dan tenang.
Agama bukanlah filsafat, tapi filsafat bisa termasuk dalam ilmu agama ataupun ilmu-ilmu umum yang lainnya.
Dengan demikian, filsafat pendakian dapat diartikan sebagai pemikiran yang lebih dalam lagi dari beberapa ilmu pendakian gunung lainnya seperti ilmu navigasi, packing, survival dsb itu. Satu hal yang lebih penting lagi adalah, dalam filsafat pendakian lebih menggunakan pendekatan dialektis yang berarti kritik yang berulang-ulang dan teliti terhadap sebuah permasalahan. Juga lebih mengarah kepada analisis yang bersifat filosofi atau pengungkapan kebenaran-kebenaran yang hakiki.
Jadi filsafat pendakian merupakan ilmu lebih lanjut dari beberapa tahapan ilmu pendakian gunung lainnya. Oleh karena itu, yang dibahas adalah seputar permasalahan pendakian gunung yang akan dikaji secara lebih dalam. Filsafat pendakian dapat juga dikatakan sebagai ilmu yang mengkaji tentang hakikat mendaki gunung.
Namun demikian, meskipun “Filsafat Pendakian” ini merupakan ilmu tingkatan lebih lanjut dari tahapan beberapa ilmu tentang pendakian yang lain. Untuk mempelajarinya tidak memerlukan jenjang tertentu, karena ilmu filsafat pendakian tidak untuk para pendaki yang lebih senior saja tetapi bisa dipelajari oleh pendaki pemula sekalipun, bahkan mungkin akan lebih baik jika ilmu filsafat pendakian dijadikan dasar sebelum kita terjun ke dalam dunia “Pendakian gunung”.
MENGAPA PERLU ADANYA FILSAFAT PENDAKIAN?
Mendaki gunung pada awalnya merupakan sebuah kegiatan yang harus dilakukan oleh seseorang untuk sebuah keperluan tertentu, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Kegiatan mendaki gunung sebenarnya sudah dilakukan oleh orang-orang pada masa prasejarah (Manusia purba). Di Indonesia saja, mereka (manusia purba) sudah mendaki gunung untuk mencari goa-goa sebagai tempat tinggal mereka, meskipun ada juga goa yang berada tepat di pinggiran laut seperti di daerah Irian Jaya tetapi masih lebih banyak goa-goa tempat tinggal manusia purba yang diketemukan di lereng-lereng gunung bahkan di puncak gunung.
Hal itu dapat dibuktikan dengan diketemukannya beberapa situs purbakala yang berupa goa tempat tinggal manusia purba di lereng dan puncak gunung yang ditandai dengan adanya beberapa lukisan purba di dinding-dinding goa seperti di Goa leang-leang (Sulawesi selatan). Mereka (manusia purba) mendaki gunung untuk keperluan mencari tempat tinggal, berburu atau mencari lahan baru untuk bercocok tanam.
Memasuki masa awal sejarah, yakni pada masa kerajaan-kerajaan khususnya di Indonesia. Kegiatan mendaki gunung tetap dilakukan dan tujuannya pun menjadi lebih beragam lagi. Kegiatan mendaki gunung lebih banyak dilakukan untuk kepentingan agama, yakni mencari tempat nyepi untuk melakukan pertapaan, seperti diketemukannya beberapa situs candi di lereng gunung Penanggungan (Jawa timur), adanya puri tempat pertapaan “Mahkuto Romo” di lereng gunung Arjuno yang kemungkinan dibuat pada masa kejayaan kerajaan Singosari, dan ditemukan juga puri tempat pertapaan di puncak gunung Argopuro yang diyakini sebagai tempat pertapaan dewi Rengganis, meskipun kita tidak pernah tahu pasti siapa sebenarnya dewi Rengganis itu? Apakah tokoh yang benar-benar ada atau hanya tokoh dalam dongeng saja.
Demikian pula pada masa keruntuhan kerajaan Majapahit, banyak para kaum bangsawan yang melarikan diri dari musuh dengan mendaki gunung untuk bersembunyi maupun mengasingkan diri. Di daerah gunung Bromo, terdapat suku Tengger yang diduga nenek moyangnya masih keturunan kerajaan Majapahit (Roro Anteng) yang melarikan diri dari kejaran musuh dengan mendaki gunung. Ada juga yang beranggapan mereka melakukan tirakat untuk mendaki gunung Tengger guna mendapatkan keturunan.
Dikisahkan, pada akhirnya Roro Anteng menikah dengan Joko seger (nama mereka kemudian dijadikan sebagai nama gunung “Tengger”), namun karena tidak dikaruniai anak maka mereka mendaki gunung (sekarang gunung Tengger dan Bromo) untuk memanjatkan doa kepada dewa agar mereka dikaruniai anak yang banyak. Dengan demikian, kegiatan mendaki gunung sudah memiliki tujuan yang berbeda dengan para manusia purba.
Memasuki masa neo klasik, yakni pada masa penjajahan. Kegiatan mendaki gunung memiliki tujuan yang berbeda lagi,
seorang ahli geologi berkebangsaan Belanda bernama Clignet (1838) diketahui sebagai orang pertama yang mendaki gunung Semeru (Jawa Timur) dengan tujuan untuk penelitian struktur tanah dan kemudian dilanjutkan oleh ahli botani Junhuhn (1945) yang mendaki gunung Semeru untuk meneliti jenis-jenis tumbuhan berdasarkan ketinggian.
Pada masa yang sama, bangsa Indonesia mendaki gunung untuk keperluan taktik perang. Panglima Jendral Sudirman dan para prajuritnya mendaki gunung dan perbukitan di daerah jawa tengah untuk menjalankan taktik perang gerilya melawan Belanda, demikian pula Pahlawan Supriadi memimpin pasukan gerilya dengan menjelajahi kawasan gunung kelud di sekitar daerah Blitar-jawa timur.
Konon bangsa Belanda juga turut mendaki gunung Argopuro untuk membuat landasan pesawat terbang di lereng gunung Argopuro guna mengangkut hasil pengalengan daging rusa (sekarang Cikasur). Dari sini kita bisa melihat tujuan dari mendaki gunung menjadi semakin beragam.
Kemudian, kegiatan mendaki gunung sudah berubah menjadi kegiatan yang bertujuan untuk hobi atau kesenangan diri sendiri. Para pendaki gunung telah memiliki tujuan yang lebih beragam lagi, yakni ingin menjadi orang pertama yang menjejakkan kaki di puncak-puncak gunung yang masih perawan. Mendaki gunung sudah berubah tujuannya, yakni untuk ‘kemasyuran’. Mengapa mereka gila akan puncak gunung?
Pada awalanya mencapai puncak gunung merupakan kepuasan pribadi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, sama halnya dengan kenikmatan penulis ketika berhasil membius para pembacanya, atau kenikmatan seorang seniman ketika berhasil menyelesaikan karyanya dan kemudian diapresiasi oleh pengamat.
Jadi, sebenarnya para pendaki gunung itu seperti seorang pemimpi yang haus untuk menggapai mimpinya, sehingga saat mimpi-mimpinya terwujud ada rasa bahagia dan kepuasan yang begitu besar dan seolah tak dapat diungkapkan atau ditukar dengan apapun.
Dapat juga dikatakan bahwa seorang pendaki sebenarnya hampir sama dengan para pejelajah atau para penemu seperti Colombus, Amerigo Vespuci atau Vasco da Gama yang berani menjelajah hanya sekedar untuk menjawab rasa ingin tahunya.
Para pendaki juga memiliki kesamaan sifat dan karakter dari seorang seniman seperti Leonardo Da Vinci, Van Gogh atau Affandi yang selalu melangkah dengan bebas, haus akan sesuatu yang baru, selalu berpikir dengan cara yang tak pernah terpikirkan oleh seorangpun sebelumnya, memiliki kepekaan sosial yang tinggi, rendah hati, unik dan selalu berbeda. Sampai pada akhirnya, ketabahan dan keikhlasannya mampu mengantarkannya kepada keagungan yang membuatnya hidup abadi sebagai Pecinta Alam sejati.
Sir Hillary saat pertama kali menjejakkan kakinya di puncak tertinggi dunia, “Mount Everest”. Tidak pernah menyatakan bahwa beliau-lah sang raja petualang atau akulah yang paling hebat. Ini terbukti dengan sulitnya mengungkap siapa orang pertama yang sampai di puncak tertinggi dunia itu, Sir Hillary atau Wim Poche (Porter) yang menemaninya? Kenyataannya mereka sepakat menyatakan bahwa mereka menjejakkan kaki di puncak secara bersamaan. Mengapa? Karena saat pertama kali berangkat, niatnya hanya satu, mendaki everest karena memang Ia harus mendaki demi memenuhi panggilan jiwa. Dan justru karena komitmen itulah yang menjadikannya dikenal dan hidup abadi.
Coba kita bandingkan saat ini. Betapa banyaknya pendaki yang melakukan ekspedisi mendaki gunung, baik secara solo atau tim hanya untuk menggapai puncak atau mengoleksi puncak-puncak gunung ternama demi mencari popularitas atau menambah image pribadi.
Kenyataannya, ekspedisi-ekspedisi tersebut hanya seperti kegiatan yang sepintas lalu saja, setelah ekspedisi selesai, tak pernah lagi dibicarakan oleh orang lain, dibahas untuk ilmu pengetahuan, apalagi untuk dikenang.
Meskipun akhirnya para pendaki yang “haus gengsi”ini harus bersikap “Vandalis” agar orang lain mengenalnya dengan cara mencoretkan namanya diantara batu-batu, pohon-pohon atau papan peringatan, tetapi ternyata sebenarnya justru mereka sedang merusak namanya sendiri.
Jadi, kegiatan mendaki gunung kini memiliki tujuan yang lebih beragam lagi, yakni prestise atau image. Dimana para pendaki berlomba untuk mencapai atau mengoleksi puncak gunung demi keperluan gengsi atau untuk mengangkat prestasi dan menjadi lebih dikenal. Para pendaki gunung segera mendapat dukungan dari negara untuk kepentingan propaganda politik, dan puncak everest adalah salah satu sasaran paling dibidik karena merupakan puncak tertinggi di muka bumi, dengan demikian apabila berhasil mengibarkan bendera di puncak tertinggi dunia, itu berarti “ Saya-lah yang tertinggi”. Bangsa Indonesiapun pernah melakukannya, yakni ketika pendaki terbaik kita melakukan ekspedisi “Seven Summit” yang berakhir dengan pendakian ke puncak Evereset (1997). Negara Indonesia mendukung mereka guna meningkatkan martabat bangsa dengan mengibarkan bendera merah putih di puncak tertinggi dunia yang juga berarti kami bangsa Indonesia juga bisa menjadi yang tertinggi.
Tujuan pendakian yang satu ini cukup cepat berkembang dan segera merasuki organisasi-organisasi Pecinta Alam, baik yang independen maupun yang berdiri dibawah naungan sebuah departemen, pendidikan misalnya.
Akhirnya dengan cepat menjamur kelompok Pecinta alam di Indonesia dan tak jarang yang program utamanya adalah menggapai puncak gunung sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan image atau prestise dengan mengajukan puluhan proposal agar setiap XPDC yang mereka lakukan mendapat dukungan dana dari sponsor. Banyak ekspedisi digelar, dan orang-orang beramai-ramai mendaki gunung. Gunung-gunungpun dijadikan obyek rekreasi tanpa adanya upaya pelestarian alam sehingga berdampak pada kotornya gunung dengan sampah-sampah.
Ada juga yang berlomba untuk membuka jalur pendakian sendiri tanpa tujuan dan manfaat yang jelas, hanya untuk mempercepat meningkatkan image kelompok organisasi yang pada akhirnya justru karena banyaknya jalur-jalur liar itu membuat banyak pendaki yang tersesat dan hilang, jalur-jalur liar itu juga menjadi akses mudah bagi para penebang dan pemburu liar untuk mengeksplorasi hutan, sehingga berdampak pada kerusakan hutan di gunung-gunung, lebih parahnya lagi negara tidak lagi peduli akan kelestarian hutan.
Hal itu menjadi sangat ironis sekali dengan nama mereka “PECINTA ALAM” yang notabene sebagai kaum yang mencintai alam tetapi pada kenyataannya tidak ada sama sekali kegiatan untuk melestarikan alam, yang nampak hanyalah sejumlah ekspedisi-ekspedisi sekedar mencapai puncak gunung saja bukan ekspedisi untuk keperluan penelitian, bersih-bersih gunung dari sampah atau ekspedisi penghijauan hutan dsb. Dan yang lebih menyedihkan lagi, banyak yang tidak mengetahui atau bahkan melupakan nilai-nilai berharga yang bisa diambil dari kegiatan mendaki gunung.
Untuk itu kita perlu mengkaji kembali tentang hakikat mendaki gunung yang selama ini telah diabaikan, mengapa kita mendaki gunung, untuk apa serta bagaimana mendaki gunung dan menjadi Pecinta Alam yang lebih baik ? Karena itu kita perlu kembali mempertanyakan tujuan kita mendaki gunung, salah satunya yakni dengan mempelajari filosofi mendaki gunung melalui
PENDAKI DAN PECINTA ALAM
Selama ini kita selalu menganggap bahwa seorang pendaki gunung itu pasti dia adalah pecinta alam, sebaliknya seorang pecinta alam itu pasti juga seorang pendaki gunung. Untuk lebih jelasnya sebaiknya kita kaji kedua istilah itu sehingga kita tidak akan terjebak pada pemahaman yang keliru.
Seorang pendaki gunung dapat dikatakan sebagai orang yang gemar atau memiliki hobi melakukan kegiatan mendaki gunung. Para pendaki tidak memiliki motivasi lain selain hanya sekedar melakukan kesenangannya sendiri yakni mendaki gunung, mencari ketenangan, udara segar, kebersamaan atau menikmati keindahan alam, baik secara individu maupun secara berkelompok.
Sedangkan seorang pecinta alam adalah orang yang hidupnya benar-benar tidak bisa lepas dari alam, ciri-cirinya orang ini tidak akan betah untuk berlama-lama tinggal di keramaian kota yang padat, bising dan penuh polusi, mereka serasa tak bisa hidup bahagia jika tidak bercengkrama dengan alam dan jangan coba-coba mengekang mereka karena mereka memiliki jiwa yang sangat bebas, pemberontak dan sulit dipahami. Namun mereka memiliki kepribadian yang sangat luar biasa, tidak sombong, supel, ramah dan tak pernah putus asa sebagai buah dari hasil didikan sang alam.
Antara pendaki gunung dan pecinta alam sebenarnya memiliki kesaman, yakni sama-sama termasuk ‘orang-orang yang mencintai alam’. Namun kadar mencintai alamnya itulah yang membedakan diantara keduannya. Seorang pendaki gunung, mencintai alam hanya pada bagian luar nya saja, mereka sudah cukup puas jika bisa melihat, mendengar atau merasakan suasana alam dan tidak memiliki semangat untuk menjaga kelestariannya.
Sedangkan pecinta alam, mencintai alam secara total, baik unsur luarnya maupun unsur didalamnya seperti halnya apabila seseorang mencintai orang yang dicintainya, tentu ada yang mencintai hanya karena fisiknya, karena hatinya atau bisa karena keduanya. Nah para pecinta alam ini adalah orang-orang yang mencintai alam baik karena fisiknya maupun karena hatinya. Bagaimana kita bisa mencintai hati sang alam? Yakni dengan mencintai sifat-sifat alam seperti: Sifat alam yang sangat sulit ditebak karena terkadang bisa menjadi sahabat dan ada kalanya bisa menjadi musuh yang sangat kejam, namun sesungguhnya alam hanyalah makhluk Tuhan yang pendiam dan sangat rapuh.
Para pecinta alam adalah orang-orang yang mencintai alam disaat sedang bersahabat ataupun disaat sedang rapuh dan tak bersahabat.
Dari penjelasan tersebut, ternyata pendaki dan pecinta alam sebenarnya memilki perbedaan meskipun keduanya juga memilki kesamaan.
Untuk lebih mempermudah pemahaman, berikut adalah contoh nyata:
Apabila di sebuah gunung telah terjadi tanah longsor, pembukaan lahan, penggundulan, atau kebakaran hutan yang menyebabkan gunung menjadi gersang, panas dan tak nampak indah lagi. Maka para pendaki gunung tidak akan tertarik lagi untuk datang dan mendaki gunung tersebut, karena secara fisik gunung tersebut sudah cacat. Namun bagi para pecinta alam keadaan gunung yang seperti itu membuat mereka resah dan merasa bahwa gunung tersebut sedang terluka parah dan secepatnya harus diobati dengan segera melakukan penghijauan kembali. Itulah salah satu contoh orang yang mencintai alam secara total.
Pada saat sama-sama melakukan pendakian gunung, para pendaki gunung hanya memiliki satu tujuan yakni mendaki gunung sampai meraih puncak tanpa menghiraukan sampah-sampah yang ditemuinya atau bahkan mereka sengaja membuang sampah-sampah mereka sendiri secara sembarangan karena merasa sampah hanyalah beban. Sedangkan pecinta alam yang sedang mendaki gunung, puncak bukanlah satu-satunya tujuan karena tujuan utama mereka adalah perjalanan itu sendiri. Para pecinta alam tidak akan membuang sampah sembarangan dan mereka tak akan segan untuk mengumpulkan setiap sampah yang ditemuinya karena mereka paham betul akan bahaya sampah bagi kelestarian alam.
Pendaki gunung dan pecinta alam adalah orang yang memiliki kepribadian yang berbeda karena tujuan mereka juga berbeda. Tidak perlu menilai mana yang lebih baik diantara keduanya, sebab jauh lebih baik jika kita memilih menjadi pendaki gunung yang pecinta alam.
PENDAKI GUNUNG PECINTA ALAM DAN PETUALANG
PENDAKI GUNUNG, PECINTA ALAM DAN PETUALANG......., sekilas memang istilah tersebut hampir sama namun sesungguhnya sangat berbeda. Tentang Pendaki dan Pecinta alam sudah dibahas sebelumnya, tetapi bagaimana dengan petualang?
Petualang, sebenarnya sangat identik dengan seseorang yang memiliki keberanian dan rasa ingin tahu yang begitu besar dan melebihi orang-orang pada umumnya. Seorang petualang bisa dibilang sebagai penjelajah yang siap bertaruh dengan apapun yang Ia miliki sampai dengan nyawanya sekalipun. Seorang petualang alam sejati tidak akan pernah berhenti untuk tetap menjelajahi alam yang belum pernah Ia jejaki.
Seorang petualang biasanya selalu menjadi pioner diantara kaumnya meskipun sesungguhnya Ia tidak pernah berniat untuk menjadi orang pertama atau mencari sensasi dan popularitas , karena yang mereka cari adalah terjawabnya rasa ingin tahu yang begitu besar di dalam pikirannya. Oleh karena itu, seorang petualang hidupnya tak pernah “stagnan”, Pribadinya begitu dinamis, optimis dan memiliki semangat yang tak wajar. Mereka berpetualang untuk memenuhi kebutuhan dirinya, sebab rasa ingin tahunya yang terlampau besar akan menyiksanya jika terus-terusan dipendam. Namun karena keberanian dan semangatnya itulah yang justru dengan sendirinya akan membuatnya dikenal dan hidupnya abadi karena orang lain akan selalu membicarakan apa yang Ia temukan dalam setiap penjelajahannya.
Kita bisa mengambil contoh seorang “Amerigo Vespuci atau Colombus” yang gemar berpetualang. Sampai kini orang-orang akan tetap mengenangnya sebagai penemu benua Amerika. Padahal meskipun mereka tidak pernah mengadakan ekspedisi menyeberangi samudera atlantik, benua Amerika sebenarnya memang sudah ada. Namun karena mereka orang yang pertama kali berani menyeberangi samudera yang konon dipenuhi ular naga dan gurita raksasa, akhirnya mereka juga yang kini lebih dikenal.
Karena mereka bekerja dengan hati, maka sesungguhnya popularitas dengan sendirinya akan mengiringi. Lalu, lebih baik mana antara Pendaki gunung, Pecinta alam atau Petualang?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, adalah lebih mudah jika kita mengacu pada tujuan yang ingin dicapai. Mengapa? Sebab bagimanapun besarnya semangat atau keberanian seseorang, jika tujuannya tidak baik dan kurang bermanfaat maka dengan sendirinya sesungguhnya orang itu akan dipandang buruk.
Contoh:
- Seorang pendaki gunung atau pecinta alam berniat untuk mendaki gunung sampai puncak, dalam perjalanan Ia menemukan sampah dan kemudian ia ambil untuk dibawa sampai turun dan membuangnya di tempat sampah. Lain cerita, ada seseorang yang gemar sekali berpetualang dengan menjelajahi hutan. Sampai suatu saat Ia menemukan sumber mineral yang berharga, sehingga kemudian Ia segera menjual kepada pihak pengelola karena Ia tahu bahwa informasi yang Ia miliki pasti sangat mahal harganya. Akhirnya masuklah pengelola kedalam hutan dan melakukan penambangan besar-besaran tanpa memperhatikan kelestarian alam sekitar.
Adalagi contoh sebagai berikut:
- Sebuah kelompok Pecinta alam berniat mengadakan penghijauan di lahan hutan yang gundul dengan harapan nama kelompoknya akan dikenal atau mendapatkan penghargaan dari pihak-pihak terkait sehingga anggotanya akan semakin bertambah dan bisa lebih mudah untuk mencari dana guna mengadakan sejumlah ekspedisi pendakian gunung yang tujuannya tak lain hanya mengoleksi puncak sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan prestise organisasi.
– Ada seorang yang gemar sekali berpetualang, kali ini Ia ingin mengadakan ekspedisi mendaki gunung dengan membuka jalur baru sebab menurut keterangan masyarakat sekitar, ada aliran sungai yang cukup deras yang mengalir dari lereng gunung, tapi tidak satupun orang yang berani untuk mencari sumber air tersebut karena masuk kedalam wilayah hutan yang disakralkan. Untuk menjawab rasa penasaran itu, maka sang petualang ini membuka jalur baru dan berhasil menemukan air terjun dan beberapa sungai yang belum pernah terjamah oleh manusia. Akhirnya, jalur yang Ia lalui kini menjadi jalur pendakian baru yang cukup diminati karena selain pemandangannya yang menarik, juga mudah untuk mencari air. Kemudian sang petualang ini bekerja sama dengan sejumlah pecinta alam dan pemerintah setempat untuk menjadikan kawasan yang telah Ia ketemukan itu sebagai kawasan Taman nasional yang harus dilindungi demi menghindari pengrusakan atau penebangan hutan secara liar .
Dari beberapa contoh diatas, bisa kita lihat manakah yang jauh lebih baik. Dengan begitu kita akan mengerti bahwa kunci dari setiap melakukan sesuatu itu terletak pada tujuannya.
Kita tidak bisa menilai sesuatu hanya berdasarkan nama atau sebutan saja. Jadi lebih baik lagi jika Para pendaki gunung itu selain merangkap sebagai Pecinta alam juga merangkap sebagai petualang sejati yang selalu bekerja dengan hati, keberanian dan semangat yang tinggi tanpa tujuan apapun selain untuk perubahan menuju ke arah yang lebih baik dan bermanfaat untuk alam dan orang lain.
Jika kita mampu bekerja dengan ketulusan hati dan keberanian, sesungguhnya popularitas atau keabadian hidup itu akan hadir dengan sendirinya untuk mengiringi setiap langkah yang kau jejaki.
Jadi, lebih baik menjadi “pendaki gunung yang pecinta alam dan berjiwa petualang sejati”. Pasti jiwa dan jasadmu akan selalu dirindukan oleh alam dan orang-orang akan angkat topi kepadamu meskipun biasanya selalu terlambat.
MENJAWAB PERTANYAAN ATAU ANGGAPAN K L A S I K
Ada beberapa pertanyaan atau anggapan klasik yang mungkin sampai sekarang masih saja ditanyakan kepada para penggiat kegiatan alam bebas. Pertanyaan dan anggapan-anggapan klasik yang sudah pasti menjadi santapan basi bagi para pendaki gunung, pecinta alam ataupun para petualang alam bebas di seluruh dunia.
Pertanyaan-pertanyaan seperti:
*Untuk apa mendaki gunung?
*Apa manfaat dari mendaki gunung?
*Keuntungan apa yang bisa diambil dari mendaki gunung?
*Apa yang diberikan gunung kepadamu?
Atau anggapan-anggapan seperti:
* Mendaki gunung hanya perbuatan menyia-nyiakan waktu, tenaga dan uang saja.
* Para pendaki gunung itu adalah kaum”Hedonist” yang hanya memuja kesenangan-kesenangan secara berlebihan.
* Para pendaki gunung adalah orang-orang yang memiliki kelainan jiwa “Amor Fati” atau orang-orang yang mencintai kematian.
* Tewas saat mendaki gunung adalah mati konyol.
Coba kita renungkan kembali beberapa pertanyaan atau anggapan-anggapan klasik tersebut. Meskipun terkesan biasa atau mungkin tidak terlalu sulit untuk dijawab. Pada kenyataannya, jawaban-jawaban yang mungkin bisa membuat mulut kita sampai berbusa untuk menjelaskannya itu, ternyata tak pernah bisa dijawab atau dijelaskan oleh para pendaki, sehingga memuaskan atau minimal mampu membuat orang-orang yang bertanya menjadi terkesan dan mau mengerti.
Mengapa demikian?
Sekali lagi................Sesungguhnya hal-hal yang terlihat mudah justru adalah hal yang paling sulit. Seperti kata orang-orang bijak” Orang besar selalu mudah mengatasi masalah-masalah besar, tetapi selalu mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan masalah-masalah kecil”
Mungkin hampir semua pendaki gunung akan dengan mudah mengatasi rasa dingin, medan yang berat atau alam yang kejam karena telah terbiasa, tetapi ketika dihadapkan pada pertanyaan dan anggapan seperti itu dari orang-orang terdekatnya, belum tentu semua pendaki gunung mampu mengatasinya. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk diam atau menghindar daripada harus melakukan sesuatu yang menurutnya sia-sia saja, yakni “Menjelaskan kepada orang yang nggak mungkin bisa ngerti”. Ada juga yang langsung menjawab” Kalau ingin tahu ya coba aja sendiri!”.
Meskipun pertanyaan atau anggapan-anggapan seperti itu sebenarnya sudah sangat “klise” atau bahkan sudah berkarat di otak para pendaki gunung, ternyata tak mudah untuk menjawab atau menjelaskannya.
Untuk menjawabnya memang dibutuhkan penjelasan yang bisa membuat orang-orang yang bertanya itu, menjadi turut berpikir kembali. Bukan justru membingungkannya atau membuatnya menjadi semakin tidak simpatik.
Pendaki gunung itu adalah orang-orang yang telah berguru pada alam. Guru yang langsung diciptakan oleh Tuhan untuk mengajarkan segala sesuatu kepada kita. Jadi bisa dibilang, orang-orang yang berguru pada alam itu sesungguhnya telah berguru pada sang maha guru. Maha guru yang lebih banyak memberi dan tak pernah meminta.
Karena ilmu tanpa batas itu sumbernya dari Tuhan, maka alam adalah sebagai medianya. Nabi Musa saja harus mendaki gunung Sinai ketika akan mendapatkan kitab Taurat. Nabi Muhammad juga harus mendaki bukit (jabal) dan tinggal di Gua Hiro yang tidak semua orang bisa mdengan mudah menggapai tempat tersebut, sebelum akhirnya menerima wahyu yang pertama. Demikian pula para empu yang harus mendaki gunung untuk bertapa sampai pada akhirnya mendapatkan pencerahan berupa ilmu atau kesaktian.
Kita tidak harus seperti para nabi atau empu, minimal ketika kita berniat untuk mendaki gunung selalu ada tujuan yang pasti, meskipun tujuan yang paling rendah sekalipun yakni sekedar hobi. Dengan demikian kita akan dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. “Saya mendaki gunung karena hobi dan kebetulan ada cukup uang, daripada saya mabuk-mabukan, judi atau melakukan kegiatan negatif lainnya, bukankah lebih baik mendaki gunung..? bisa banyak teman, mengenal alam lebih dekat dan lebih sehat”. Atau bisa dengan jawaban “Saya mendaki gunung karena saya menghargai hidup yang diberikan Tuhan kepada saya. Daripada saya harus terus-terusan menghabiskan umur di kota menggeluti pekerjaan tanpa henti. Bukankah ada baiknya saya mendatangi tempat-tempat yang cukup menantang untuk saya kunjungi? Dengan begitu saya bisa lebih menghargai anugerah hidup yang telah diberikan Tuhan kepada Saya. Kaki untuk menjelajah dan mendaki, tangan untuk menolong dan menulis pengalaman, mata untuk melihat keagungan ciptaan Tuhan, telinga untuk mendengar suara alam yang sangat indah. Semua itu untuk mendekatkan saya pada Tuhan”.Dijamin jawaban saudara akan mendapat respon yang positif. Namun, kalau masih belum ada respon positif juga, mungkin ada baiknya saudara mengajak orang yang bertanya itu untuk naik gunung juga. Bukankah “jika tak kenal maka tak sayang” Demikian pula dengan mendaki gunung, sekali mencoba pasti ketagihan, kalau tidak ketagihan....ya pasti kapok untuk bertanya lagi.
Jadi kegiatan mendaki gunung, harus memiliki tujuan yang jelas agar kegiatan yang kita lakukan tidak sia-sia.
Ada beberapa tingkatan “Tujuan mendaki gunung”, yakni sebagai berikut:
Tujuan mendaki gunung yang pertama, bisa dibilang tujuan yang paling rendah adalah ”Untuk hobi atau kesenangan pribadi semata”. Para pendaki gunung yang bertujuan untuk hobi ini, biasanya mendaki gunung untuk sekedar rekreasi, mengisi waktu luang atau melepas kepenatan. Orang-orang ini mendaki gunung untuk menikmati pemandangan alam, menghirup udara segar atau berkemah bersama teman-teman. Puncak gunung bukanlah harga mati, karena yang mereka kejar hanyalah kesenangan semata. Jadi meskipun mereka mendaki gunung tidak sampai ke puncak, sebenarnya mereka sudah cukup puas.
Tingkat kedua, tujuan mendaki gunung “Untuk prestise atau mendapatkan pengakuan”. Para pendaki yang mendaki gunung untuk tujuan seperti ini, yang mereka kejar hanya puncak. Jadi puncak gunung adalah harga mati bagi mereka. Bagaimanapun caranya, puncak harus bisa diraih, karena mereka beranggapan semakin banyak puncak gunung yang dikoleksi,maka prestise akan meningkat pula dan Ia-pun akan mendapat pengakuan dari orang lain (meskipun kenyataannya justru dianggap sombong dan kurang begitu dianggap oleh kebanyakan pendaki).
Tingkatan yang lebih tinggi yakni “ Untuk pengalaman dan Ilmu pengetahuan”. Orang-orang yang bertujuan seperti ini tidak hanya “pendaki gunung atau petualang saja”, tetapi bisa juga para ahli yang mendaki gunung untuk keperluan penelitian. Contoh: Seorang ahli “Vulkanologi” harus mendaki gunung untuk meneliti keadaan kawah sebuah gunung, Seorang pendaki yang mendaki gunung untuk keperluan membuat peta, seorang ahli yang mendaki gunung untuk keperluan meneliti jenis-jenis hewan dan tumbuhan di sebuah gunung, seorang petualang yang mendaki gunung untuk membuka jalur pendakian atau mencari lokasi sumber air dsb. Orang-orang yang memiliki tujuan ini, biasanya mengabaikan “Prestise”atau bahkan “nyawanya” sekalipun karena tujuan utama mereka adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam benak mereka. Demi ilmu pengetahuan dan pengalaman baru sehingga bermanfaat untuk dirinya dan juga orang lain.
Tingkatan selanjutnya yang lebih tinggi adalah “ Untuk pelestarian alam atau misi penyelamatan”. Biasanya banyak dari kalangan para “Pecinta alam” (Pecinta alam yang sebenarnya),Tim SAR atau polisi hutan. Mereka mendaki gunung untuk kelestarian alam, misalnya reboisasi di lereng gunung, ekspedisi bersih-bersih gunung dari coretan-coretan dan sampah gunung, perbaikan jalur pendakian untuk mencegah adanya jalur-jalur bayangan yang akan menyesatkan pendaki, Tim SAR yang mendaki gunung untuk mencari pendaki yang hilang, para polisi hutan yang mendaki gunung untuk menjaga hutan dari bahaya kebakaran atau memburu para penebang dan pemburu liar.
Tingkatan berikutnya yang lebih tinggi lagi adalah “Untuk mengasah pribadi dan menemukan hakekat diri”. Orang-orang yang memiliki tujuan seperti inilah orang yang mampu berguru pada alam. Mereka mendaki gunung untuk menyendiri dan merenung guna mendapatkan kedamaian dan pencerahan dari Tuhan dengan mengakrabi alam. Karena dengan begitu mereka akan tahu bahwa dirinya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan alam apalagi Tuhan. Tujuan mendaki gunung seperti ini tidak hanya bisa dilakukan oleh para pertapa saja, yang biasanya mendaki gunung dan tinggal disana dalam waktu yang cukup lama sampai mendapat ilmu. Namun, sebenarnya para pendaki gunung biasa juga bisa memiliki tujuan seperti ini, kebanyakan para pendaki yang sudah cukup berpengalaman biasanya mendaki gunung untuk tujuan seperti ini. Mereka mendaki gunung bukan lagi untuk hobi atau mengejar prestise, tetapi mereka mendaki karena “panggilan jiwa” yang harus terus dipenuhi. Mereka seolah tak bisa hidup jauh dari gunung. Meskipun telah lama tidak mendaki gunung, namun keinginan untuk mendaki itu pasti akan tetap ada karena sudah menjadi kebutuhan. Mereka meyakini bahwa ada banyak pelajaran yang bisa diperoleh dari mendaki gunung. Dengan mengakrabi alam, maka dengan sendirinya alam akan mengajarkan banyak ilmu kepada kita.
Jadi, jelas bahwa gunung adalah media untuk menempa pribadi manusia sebelum akhirnya mendapatkan ilmu yang berasal dari Tuhan. Ilmu yang tak terbatas dan tidak bisa didapatkan hanya dari sekolah atau kuliah saja.
Ilmu apakah itu?
Ilmu tentang “hakikat diri dan Pemahaman akan arti kehidupan”.
Bagaimana cara memahaminya?
Salah satu caranya adalah dengan “Banyak mendaki gunung”.
Demikian tadi beberapa tingkatan dalam mendaki gunung jika dilihat dari tujuannya. Namun diantara tingkatan tersebut sebenarnya masih ada tingkatan yang jauh lebih rendah lagi, yaitu mendaki gunung untuk “Eksploitasi hutan atau merusak hutan”. Namun tidak saya masukkan dalam tingkatan tersebut karena saya beranggapan itu seharusnya bukan merupakan tujuan mendaki gunung bagi para pendaki gunung.
Jadi pastikan terlebih dahulu tujuan kita sebenarnya sebelum kita mendaki gunung, sehingga kegiatan yang kita lakukan nanti tidak akan sia-sia, dan jika nanti seandainya kita terpaksa harus mati di gunung sekalipunpun, maka kita tidak akan mati konyol karena minimal kita sudah memiliki tujuan yang jelas.
Tak ada pendaki yang mati di gunung, mati sia-sia. Mereka hanya manusia biasa yang telah berani menghargai hidup dan memenuhi takdirnya saja.
‘Kematian’ ketika mendaki gunung adalah resiko yang harus dihadapi dengan keberanian.
MENDAKI GUNUNG DAPAT MENGASAH PRIBADI
Seperti halnya melukis , membuat lagu atau mengarang, awalnya adalah sekedar untuk hobi atau kesenangan semata. Namun apabila ditekuni dengan sungguh-sungguh sampai mendarah daging maka kegiatan hobi tersebut tak ubahnya seperti kebutuhan makan dan minum saja. Hingga tak disadari bahwa kegiatan yang ditekuni karena kesenangan itu kelak mampu mengubah pribadi seseorang.
Ya..........semua berawal dari sekedar hobi yang terus-menerus ditekuni hingga mampu mengubah pribadi seseorang, dari pribadi yang kasar menjadi pribadi yang lebih lembut dan sabar.
Sebagaimana kata Ki Hajar Dewantara, bahwa Seni itu sebagai penghalus budi pekerti. Dan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia seni termasuk seni mendaki gunung, artinya mendaki gunung dengan menggunakan akal dan perasaan, dasarnya adalah kesenangan.
Mendaki gunung adalah kegiatan yang didasari karena kesenangan, dan apabila terus menerus ditekuni maka tidak lagi untuk kesenangan melainkan sudah menjadi kebutuhan.
Jika kebutuhan itu terus dipenuhi maka dengan sendirinya akan merubah sikap dan perilakunya. Seharusnya perubahan sikap dan perilaku tersebut adalah lebih baik bukan menjadi lebih buruk.
Melalui kegiatan mendaki gunung, kita akan mampu mengenali pribadi teman yang sebenarnya. Sebab, ketika kita mendaki gunung, beberapa karakter pribadi orang yang sebenarnya akan nampak karena situasi yang sedang dihadapi. Misalnya: Kelelahan, kedinginan, kehabisan bekal makanan atau air, terjebak badai, tersesat, mengalami musibah kecelakaan, ada teman yang sakit, atau bahkan karena gagal sampai ke puncak. Ada yang jujur/tidak jujur, ada yang setia kawan/ tidak setia kawan, ada yang egois/tidak egois, ada yang teliti/ceroboh, ada yang sombong/rendah diri, dll. Karena itu dengan kegiatan mendaki gunung, kita akan bisa lebih mengenal karakter pribadi seseorang yang sebenarnya.
Kita juga bisa mengamati bahwa ada juga para pendaki yang mendaki gunung sambil membawa narkoba (cimeng). Sungguh sangat disayangkan jika kegiatan yang seharusnya lebih positif, justru akan tercoreng dengan tingkah laku para pendaki yang seperti itu.
Melalui kegiatan mendaki gunung, kita akan mampu mengasah pribadi. Dari pribadi yang sombong menjadi pribadi yang lebih rendah diri, dari pribadi perusak menjadi pribadi yang lebih menghargai alam. Siapa yang mengasahnya?....jawabannya adalah Tuhan melalui tangan sang alam.
Dengan mendaki gunung, paling tidak kita akan mampu mengetahui bahwa kita hanyalah seperti seekor semut yang merayap lamban di tengah luasnya hutan. Kita hanya mahluk biasa yang tak berdaya jika berada di alam bebas, tidur di tanah, minum air mentah, berlindung dari dinginnya udara, tak berdaya di tengah kabut atau tak berkutik jika tersesat dan kehabisan bekal. Itulah kita, manusia yang sebenarnya, tak berdaya di tengah alam, apalagi untuk melawannya. Lalu apalagi yang kita sombongkan, melawan alam saja tidak berdaya apalagi melawan kekuasaan sang pencipta alam. Demikianlah alam akan mengajarkan kepada kita ilmu tentang “ rendah diri dan tidak sombong”.
Jika ada seorang pendaki merasa sombong karena Ia telah merasa menaklukkan sebuah gunung atau ratusan gunung dengan mendaki sampai puncaknya, sesungguhnya Ia mendaki hanya mendapatkan rasa letih saja tidak lebih. Gunung adalah salah satu guru yang mengajarkan banyak ilmu kepada manusia, bagaimana bisa guru akan mengajarkan ilmunya jika muridnya merasa sombong terlebih dahulu?
Mendaki gunung hanya untuk kesenangan atau hobi itu tidak salah, tetapi alangkah baiknya jika kita mendaki gunung sekaligus belajar pada alam, yakni belajar tentang segala ilmu yang mungkin dapat diajarkan alam kepada kita. Kemudian, apabila kita sudah memiliki ilmunya maka kita bisa mengajarkannya kepada orang lain yang belum tahu. Dengan demikian, kegiatan mendaki gunung kelak akan menjadi sebuah kegiatan yang jauh lebih bermartabat dan lebih dihargai oleh orang lain.
GUNUNG ADALAH SUMBER ILMU
Kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa ada banyak sekali ilmu yang sesungguhnya bisa kita petik dari kegiatan mendaki gunung. Ilmu apa sajakah itu?
Berikut ini hanyalah sebagian dari beberapa kelompok ilmu yang bisa diajarkan gunung kepada kita:
1. Ilmu pengetahuan alam
Tak dapat dipungkiri, bahwa gunung adalah sumber ilmu pengetahuan. Para peneliti yang gemar meneliti tentang gunung, akhirnya dapat menemukan dan merumuskan beberapa ilmu-ilmu baru yang dapat berguna bagi manusia. Seperti contohnya: Ilmu volcanologi, botani, zoologi, topografi, ilmu batuan, ilmu lapisan tanah, ilmu obat-obatan, arkeologi dsb yang terlalu banyak untuk disebutkan.
Cabang-cabang ilmu pengetahuan tersebut, tentu saja tak begitu saja muncul. Melainkan melalui proses pencarian dan penemuan secara berkala oleh orang-orang yang memang senang sekali menjelajah gunung-gunung, dan kegiatan pencarian itulah yang sebenarnya disebut dengan ekspedisi. Jadi ekspedisi bukan sekedar mendaki puncak-puncak gunung lalu pulang kembali tanpa menghasilkan sesuatu. Jika ada kegiatan ekspedisi yang demikian, bisa disebut hanya sekedar kegiatan melakukan hobi mendaki gunung. Bukan melakukan ekspedisi.
2. Ilmu sosial
Kegiatan mendaki gunung juga akan berdampak pada bertambahnya wawasan tentang ilmu sosial kita. Sebab, setiap kita mendaki gunung maka kita akan selalu bertemu dan berhubungan dengan orang lain, baik dengan teman sendiri, penduduk desa atau dengan para pendaki yang mungkin kita jumpai. Kita akan belajar bagaimana bergaul, menghormati dan bersikap baik dengan orang lain, karena jika kita tidak mampu beradaptasi dengan baik, maka kita akan merasakan kerugian yang bisa langsung kita rasakan sendiri.
Dengan mendaki gunung, mengajarkan kita untuk bersosialisasi, bekerjasama dan menjalin tali persahabatan. Oleh karena itu, setelah melakukan kegiatan mendaki gunung, biasanya kita akan merasakan tali persahabatan terjalin lebih erat daripada sebelumnya. Sebab, kita sudah melalui hidup bersama mengatasi berbagai kesulitan, tidur bersama, makan bersama, susah bersama, dan senang bersama selama beberapa hari di alam bebas.
Selain itu, kita juga akan banyak belajar tentang masyarakat desa. Sebab ketika kita melalui desa atau dusun terpencil tempat kita melakukan titik awal pendakian, maka secara tak langsung kita akan belajar mengenal tentang kebudayaan masyarakat baru yang kita temui disana. Baik bahasanya, agamanya, sistem sosialnya, mata pencahariannya, ilmu pengetahuannya, keseniannya, atau adat istiadatnya. Meskipun mungkin kita hanya singgah beberapa hari saja di desa mereka, tapi sebenarnya secara tak langsung kita telah mempelajari sedikit tentang masyarakat desa yang kita singgahi. Dengan demikian, jika kita peka terhadap lingkungan masyarakat yang kita temui, maka kita akan mudah bergaul dengan mereka dan begitu juga dengan mereka akan lebih menghormati kedatangan kita.
Oleh karena itu, sangat disayangkan jika kita hanya sekedar melakukan pendakian gunung tanpa memperhatikan lingkungan masyarakat desa yang kita temui. Kita akan kehilangan beberapa ilmu yang sesungguhnya dapat bermanfaat baik bagi kita sendiri ataupun bagi orang lain.
Lebih baik lagi jika kita akan mendaki gunung, sebelumnya juga mempelajari tentang karakter masyarakat di desa tempat kita melakukan titik awal pendakian. Meski terlihat sepele, tetapi sesungguhnya hal ini sangat penting untuk diri kita sendiri. Karena itu jadilah pecinta alam yang gemar menulis rencana dan catatan perjalanan.
3. Ilmu Filsafat
Mendaki gunung akan mendekatkan kita kepada alam, hal ini tentu bukan rahasia lagi. Sama halnya dengan seorang pelaut yang mengatakan bahwa ‘dengan mengarungi lautan kita akan mengenal diri kita dan bisa lebih menghormati alam’. Sebenarnya hampir sama antara pelaut, pendaki gunung, penerbang atau bahkan astronot. Semakin kita menjelajahi alam maka kita justru akan merasa dekat dengan alam, baik sebagai sahabat atau musuh sekalipun. Jika kita merasakan kedekatan dengan alam dan mengenal alam dengan baik, maka dengan sendirinya kita akan tahu siapakah sebenarnya kita ini.
Jika kita sedang berada di tempat yang aman dan nyaman, berada di rumah, gedung atau hotel dengan dikelilingi orang-orang terdekat kita. Mungkin kita akan merasa sebagai manusia yang memang lebih unggul dari makhluk lainnya. Tetapi jika sedang berada di tengah hutan yang gelap, dikelilingi kabut dan udara yang menusuk tulang. Kita akan tahu bahwa kita hanyalah makhluk yang paling lemah. Kita kalah jauh dengan tumbuhan dan hewan yang mampu bertahan hidup di tengah hutan tanpa membawa bekal makanan atau tenda untuk berlindung dari hujan dan dinginnya udara.
Dengan mendaki gunung, kita akan terbiasa merasakan betapa lemahnya diri kita dan betapa dahsyatnya kekuatan sang alam. Apalagi penciptanya?
Apabila kita sampai di puncak-puncak gunung, kita akan melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Di atas kita, ada langit yang seolah begitu dekat dan luas. Di bawah kita, terhampar dataran yang dihuni oleh berjuta-juta manusia dengan berbagai kesibukannya. Dan ternyata kita hanyalah satu diantara berjuta-juta makhluk yang tinggal di bawah sana. Semua tampak seperti debu yang bertebaran di padang yang luas. Apa lagi yang bisa kita sombongkan?
Demikianlah, dengan mendaki gunung kita akan merasakan kedekatan dengan alam yang pada akhirnya akan mengantarkan kita kepada kedekatan diri kita dengan Tuhan. Jadi dengan mendaki gunung, kita akan belajar ilmu agama yang jauh lebih tinggi, yakni ilmu hakikat diri.
Hal-hal demikian ini, sesungguhnya sudah dibuktikan oleh para nabi dan kaum petapa yang gemar sekali mendaki gunung untuk sekedar bertapa dan menyendiri guna mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dengan menyendiri di gunung-gunung selama beberapa hari bahkan sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun, mereka merasakan kedekatan dengan Tuhannya. Sampai pada akhirnya, mereka dikaruniai beberapa ilmu yang tak semua orang bisa mendapatkannya.
Ilmu hakikat.
“Jika kita mampu mengenali diri sendiri, maka kita akan mengenali Tuhan” (Petikan kalimat dari para kaum hukamah/sufi)
BELAJAR DARI FILOSOFI MENDAKI GUNUNG
Gunung adalah bayang-bayang kehidupan
Puncaknya adalah cita-cita
Lerengnya adalah usaha
Lembahnya adalah iman dan pengetahuan
Hutannya adalah anugerah
Dan kabutnya adalah cobaan
Semakin runcing sebuah gunung
Semakin sulit pula menggapai puncaknya,
tapi butuh waktu yang singkat
SEBALIKNYA
Semakin landai sebuah gunung
Semakin mudah pula menggapai puncaknya,
tapi butuh waktu yang lebih lama
Tapi
Puncak bukanlah tujuan akhir,
karena jalan menurun, telah siap untuk ditapaki
semakin sulit dan menyesatkan
menuju lembah tempat kembali
PECINTA ALAM DAN KEKERASAN
Selama ini masyarakat beranggapan bahwa organisasi pecinta alam sarat dengan kekerasan fisik dan mental, sehingga muncul citra pada masyarakat bahwa untuk menjadi anggota organisasi pecinta alam harus mengikuti pendidikan dasar yang sangat berat dan penuh dengan resiko. Memang pada kenyataannya, pendidikan dasar bagi para anggota baru organisasi pencinta alam sangat akrab dengan kekerasan fisik dan mental, bahkan ada yang sampai mengarah kepada tindakan penganiayaan. Kekerasan fisik dan mental itu bermacam-macam bentuknya, mulai dari push up tanpa batas, memaki, merendam di sungai yang dingin, minum air bekas berkumur, menempeleng sampai dengan memukul dan menendang.
Kekerasan fisik dan mental sudah dianggap biasa dan mungkin juga wajib hukumnya bagi siapa saja yang ingin menjadi anggota organisasi pecinta alam. Pertanyaannya, apakah tujuan yang ingin dicapai dari tindakan kekerasan itu? Tak jelas. Apakah kekerasan itu memang diperlukan untuk menguji fisik dan mental, karena kegiatan alam bebas membutuhkan fisik dan mental yang prima, atau hanya sebuah ajang balas dendam secara turun temurun dari para senior kepada juniornya.
Padahal kegiatan pendidikan dasar bagi para anggota baru organisasi pecinta alam itu, bukan hanya untuk membentuk mental dan fisik semata. Tapi juga latihan untuk mengajarkan dan menerapkan beberapa ilmu seperti navigai darat, bivak, SAR, survival dll. Nah…….bagaimana mungkin mereka bisa menyerap ilmu jika dalam kondisi fisik dan mental yang letih dan tertekan?
Jika memang ingin membentuk fisik dan mental yang prima. Apakah harus selalu dengan cara kekerasan? Seharusnya cukup dengan latihan fisik secara rutin dan penerapan disiplin yang tinggi. Sehingga tindakan kekerasan fisik dan mental yang tidak rasional dan tidak berguna itu bisa dihindari.
Dengan begitu, citra organisasi pecinta alam akan jauh lebih baik dan bermartabat di mata masyarakat dan kegiatan pecinta alam akan menjadi kegiatan alam bebas yang lebih bermanfaat dan menyenangkan untuk diikuti.
Dalam pendidikan dasar, penamparan boleh saja dilakukan hanya untuk menyadarkan siswa atau peserta pendidikan yang pingsan atau mengalami kepanikan. Kegiatan di alam bebas itu keras, jangan ditambah lagi oleh kekerasan fisik. Pendidikan itu dimaksudkan untuk membangun human skill. Kekerasan bisa jadi bukannya membangun, melainkan justru menjatuhkan human skill peserta. Kalau sudah down, pendidikan akan percuma karena tidak menghasilkan anggota yang sesuai dengan harapan.
Sebenarnya, kekerasan dalam pendidikan dasar bukan yang berkaitan dengan kontak fisik dan sebagainya, yang bisa saja menjurus pada tindak pidana penganiayaan atau bahkan sampai pembunuhan